Delapan

10 2 0
                                    

Aku harus kembali ke apartemen Venza. Sebenarnya aku masih bingung apa yang harus ku kerjakan di sana setelah membujuk Elang untuk meminum obatnya. Kalau dia kembali bertiak atau tiba-tiba mengamuk, apa yang harus ku lakukan?

Pelan-pelan ku buka pintu kamarnya. Hal pertama yang ku lihat adalah barang-barang berserakan di mana-mana. Dia meringkuk di pojokan mencoret-coret kertas dengan crayon merah. Menyeringai dan sesekali tertawa.

Perhatiannya teralihkan saat menyadari kehadiranku, ekspresi berubah drastis seperti orang ketakutan. Padahal saat pertemuan pertama kami dia terlihat biasa saja. "PERGI KAU"

"Hei hei tenanglah, aku bukan monster"

Aku mendekat kearahnya, merendahkan badan agar sejajar dengannya. Dia mendorong ku hingga terpental ke belakang akibat keseimbangan belum sepenuhnya terkumpul.

Dia bangkit lalu berlari ke kasur menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Ini akan semakin memperumit hari jika aku tidak segera menenangkannya sekarang.  Kata Venza dia harus minum obat dan salah satunya ada obat penenang. Tapi di mana dia menyimpan obat itu.

Oke, aku akan tanyakan pada Venza sekarang. Menghidupkan data ponsel, menunggu pesan yang masuk dari tadi pagi. Agak macet karena sudah lama aku menggunakan handphone ini. Pada akhirnya sudah berhenti bergetar dan aku segera memencet bagian telepon untuk memanggil kakak Elang.

Panggilan yang ku tuju tidak dapat dihubungi. Lalu bagaimana ini? Bisa-bisa aku ikut gila sekarang. Pasrah. Ku hampiri lagi anak itu, sekarang dia mengintip dari balik selimut. Masih bergetar ketakutan namun tangannya ingin melawan.

"Ayolah keluar, aku tidak akan melukaimu." membujuk adalah hal yang bisa ku lakukan sekarang. Mau bagaimana lagi aku bahkan tidak mengerti situasi seperti ini, bersama orang tidak waras dalam satu tempat.

"TIDAK, KAU PASTI AKAN MEMBUNUHKU. JANGAN MENDEKAT ATAU KAU AKAN KU LUKAI."

Dia sepertinya kehabisan suara karena berteriak kencang layaknya seorang yang sedang disiksa. Padahal aku tidak melakukan apa-apa. Duduk di di sampingnya bukanlah hal yang tepat. Ku kira dia hanya membawa crayon dan kertas, tapi nyatanya dia benar-benar mengayunkan pisau dengan cepat ke sembarang tempat. Sialnya dia berhasil mengenai telapak tangan ku saat aku ingin membuka selimut.

Tentu saja darah menetes mengenai sprei di bawahnya. Aku mundur perlahan, berdiri sambil memegangi punggung tangan.

Cklek

"Ada apa ini? Aku mendengar ada yang berteriak tadi. Siapa kau?"

Entah sekarang aku harus merasa bersyukur atau takut jika terjadi kesalahpahaman. "Dia tiba-tiba bertingkah seperti sedang melihat hantu. Menjadi agresif saat ku dekati. Tolong tenangkan dia pak, saya menjadi takut kalau dia mengamuk lebih parah"

Laki-laki berseragam dokter itu mengangguk paham. Menghampiri Elang yang masih terbalut selimut, lalu menjalankan tugasnya.

DIAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang