03: Healer

32 9 19
                                    

Seperti sihir, dalam hitungan detik baju yang Miky kenakan sudah berganti pakaian lengkap khas tentara berwarna cokelat, tactical boots hitam, sarung tangan, pelindung dada, jangan lupakan tas punggung tempat menyimpan berlian.

Kali ini kedua cowok itu serius menghadapi permainan, bagaimanapun juga keluar dari sini adalah misi paling penting dan menemukan berlian serta Healer yang tidak mereka ketahui rupanya adalah sebuah keharusan yang sulit.

Miky berkacak pinggang seraya menumpukan Shotgun S12K di bahu. "Untuk saat ini kita kerja sama, tapi lo tetap musuh gue."

Jelas saja tidak ada kata damai antara dirinya dan Mahen. Sejak mantan sahabatnya itu memilih bersaing dengan segala sesuatu berbau gim, dia sudah tidak peduli lagi. Jika ada yang mengatakan tak ada mantan sahabat, tentu mereka adalah orang gagal move on dari para pengkhianat.

Mahen memutar bola mata malas. "Ya kali gue mau berteman sama lo lagi. Ini hanya demi misi, setelah keluar dari sini kita tetap musuh sejati."

Mereka saling melempar tatapan sengit. Andai di dunia nyata sudah dapat dipastikan kejadian ini akan berakhir lomba bermain gim dan yang kalah harus menjadi babu sehari bagi pemenang. Mahen sering berada di posisi tersebut, itulah alasan kedua mengapa dia sangat ambisius ingin mengalahkan Miky hingga harus mengorbankan gelar persahabatan di antara mereka yang sudah terjalin sejak SMP.

Miris memang, tetapi begitulah hidup. Siapa pun berpotensi menjadi musuh karena iri hati. Tidak akan ada yang sadar jika sudah termakan emosi dan ambisi sampai tujuan bisa tercapai.

Miky meringis, asing sekali melihat Mahen yang sekarang. Namun, perjalanan dari waktu ke waktu tentu akan mengubah perangai seseorang, dia pun sama. Dia bukanlah Miky si kutu buku nan pendiam, kini dia berubah jauh lebih cerewet dan disibukkan dengan penelitian-penelitian menciptakan gim baru untuk dinikmati konsumen.

"Bengong mulu, duduk lo. Kita butuh strategi sebelum mulai main." Mahen sudah sibuk menyibak dedaunan dan rumput hingga menyisakan tanah untuk digambari.

Tidak mau mendengar ocehan, Miky sigap menyilakan kaki, manik hitam pekatnya sudah fokus menatap tanah. "Tumben lo pinter," kekehnya di akhir kalimat.

"Elo yang bego karena gak tau ada manusia secerdas gue."

"Let's see secerdas apa lo membuat strategi untuk dapetin lima berlian dan si Healer itu." Senyum mengejek terbentuk, ya, dia selalu senang membalas perkataan cowok itu.

Tanah mulai digambar-gambari, sesekali mereka melihat ke layar hologram untuk memastikan peta distrik peperangan. Sesekali terlibat adu cekcok, saling mempertahankan pendapat dan berakhir mencari jalan lain agar tidak berseberangan pikiran.

Di saat seperti ini kekompakan dan kepedulian harus dinomorsatukan. Miky maupun Mahen sadar meski selalu dihantui kata musuh di antara mereka. Sejatinya hubungan persahabatan yang rusak akan tetap menyisakan sisi perhatian walaupun berbeda seperti sebelum-sebelumnya.

"Lo lihat? Di peta ini ada dua titik bangunan. Kita gak tau Healer di mana, yang pasti persediaan amunisi udah menipis. Jadi, sebisa mungkin kita harus bertahan dulu untuk mengumpulkan peluru terus temuin Healer." Mahen hampir menyelesaikan diskusi tentang strategi.

"Ck, kalau mau ngumpulin amunisi kita jalan sendiri-sendiri aja. Lo ngumpulin amunisi di sisi selatan sambil ngecek bangunan satu, gue ngumpulin amunisi sisi barat dan ngecek bangunan dua. Kalau ada bahaya sisa bilang aja, nanti kita saling tolong."

Mahen mengernyit, cara Miky memang bagus, tetapi ada hal aneh. "Maksud lo tinggal bilang aja dengan cara teriak sekencang mungkin?"

Bukannya menjawab, cowok berpakaian tentara lengkap itu terbahak. "Ya elah. Emang lo gak sadar setiap main gim lensa mata sama alat komunikasi terpasang, kita bisa bicara dari jarak jauh. Cuma, ya, itu kita gak ngaktifin alatnya aja makanya gak tau."

Game (L)over✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang