06: The Wrong System

31 8 32
                                    

Menelan kegagalan berulang kali tidak pernah menyenangkan bagi gamers tingkat tinggi dan itulah mengapa musuh tidak boleh berada di satu tempat, seperti Miky dan Mahen. Kini kedua cowok itu saling menyalahkan, mempertahankan ego masing-masing.

Tatapan tajam, tarik-menarik nia, dan salah satu hampir melayangkan tinju jika tidak segera dicekal oleh Wira.

"Lo emang selalu nyalahin gue, nganggap diri lo paling sempurna seakan-akan gue gak tau apa-apa. Ini yang paling buat gue gak nyaman sama lo!" Miky maju selangkah, hampir menerjang Mahen.

Unek-unek yang mensesaki dada seketika hilang setelah menyampaikannya secara langsung. Ya, Miky selalu salah di mata Mahen, itulah fakta yang paling dia benci selama menjalin persahabatan dan bersyukur karena hubungan itu berakhir saat memasuki bangku perkuliahan.

"Itu gak ada hubungannya. Elo gak pernah tau mana prioritas. Andaikan lo gak bengong tadi kita bisa menang, pulang secepat mungkin." Mahen mengepalkan tangan siap melayangkan bogem mentah, tetapi Wira setia sekali berada di tengah-tengah dua harimau mengamuk.

Vichi maju, harap-harap cemas. Sebagai orang yang turut berjuang di detik-detik terakhir permainan dia harus meluruskan jalan pikiran dua cowok ini. Ego hanya akan memperbesar jarak di antara mereka.

"Udah, Mik, Hen. Kita kalah karena emang gak bisa lawan mereka semua. Dimulai dari strategi yang kurang matang, sampai kehilangan Gea dan Wira di tengah-tengah peperangan."

Mahen berpaling sembari menyugar rambut ke belakang. Sebelum pergi dari hadapan mantan sahabatnya, dia menatap dalam mata legam sipit itu dengan pikiran berkecamuk, setelah itu masuk ke rumah dan duduk di atas tikar.

Perkataan Miky terngiang dalam benak. Jika memang seperti itu mungkinkah Miky tidak pernah bahagia bersahabat dengannya selama ini? Cowok berlesung pipit itu meraup wajah seraya meringis.

"Mahen ... lo baik-baik aja?" Vichi menyembulkan kepala dari balik pintu.

Mahen mengangguk pelan, kemudian dilihatnya Vichi masuk dan duduk di sebelahnya. Senyuman manis merekah pada bibir tipis Vichi, sama ketika saat bermain gim tadi dan tanpa cowok itu sadari dia semakin tertarik pada gadis itu.

"Lo mikirin apa?"

Sebagai jawaban cowok berhidung mancung tersebut menggeleng. "Bukan apa-apa."

Vichi tertawa. "Bukan cuma cewek yang punya makna dibalik apa-apa, cowok juga, jadi gak usah bohong."

"Kita semua selalu bilang gak apa-apa padahal lagi ada apa-apa. Gini, nih, yang buat orang kepikiran sampai stres." Gadis itu memeluk lutut, menerawang ke depan saat mengucapkan kata demi kata.

Sebelum beranjak ke rumah sebelah, di mana Miky menyendiri, Vichi menepuk pundak Mahen sekilas. "Gue bisa jadi teman curhat kalau mau, tapi kalau belum mau membuka diri gak papa. Setidaknya lo bisa berdamai sama diri lo sendiri itu udah baik."

Vichi kembali melengkungkan bibir ke atas. Gadis itu selalu saja tersenyum hingga membuat hati seorang cowok menghangat. Suara pintu tertutup membuat satu-satunya orang di dalam sana menatap nanar kepergian Vichi.

"Harusnya lo ngomong gitu ke Miky, kayaknya dia jauh lebih membutuhkan kata-kata lo daripada gue," lirih Mahen sembari menunduk.

Dor!

Letusan senjata merobek keheningan gurun pasir hingga semua mata yang belum terlelap terkejut. Belum saatnya bermain gim, tetapi suara tembakan tadi biasa mereka dengar hanya ketika bermain. Mahen berdiri, segera keluar untuk memeriksa keadaan.

Di luar sudah berdiri Miky, Wira, serta Gea, hampir bersamaan kemunculan Mahen di tengah pintu. Mereka kompak melihat ke satu titik, di mana Vichi tergeletak, memegang lengannya yang berdarah.

Game (L)over✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang