11: Battle

26 7 12
                                    

"Gea!"

Ketiga cowok yang awalnya sibuk menghabisi musuh berteriak serempak ketika Gea tertembak peluru, lantas hilang di tengah-tengah mereka. Vichi mengusap dada berulang kali, teriakan cowok di sekelilingnya terlalu memekakkan telinga.

Vichi kembali fokus, melontarkan anak panah ke sebelah kiri, lalu berlari setelah berhasil membunuh musuh yang tepat. Gadis itu melompat kegirangan, tinggal satu lagi dan mereka akan berhasil memenangkan permainan ini.

"Wira!"

Lagi, jeritan kedua cowok di depan sana membuat Vichi terkejut. Rasa takut mulai mengerubungi. Kedua temannya telah gugur dan kini hanya tersisa mereka bertiga. Gadis itu berteriak, lalu melemparkan permata kepada Miky agar cowok itu memasukkannya ke dalam tas.

Puluhan musuh berhasil mereka kalahkan sampai sniper pun telah dilumpuhkan oleh Mahen beberapa saat lalu. Kini mereka harus bergegas ke Barat, tempat di mana Miky dan Mahen melakukan ekspansi malam harinya. Pemukiman di sana jauh lebih padat, banyak tempat bersembunyi untuk melakukan penyerangan secara diam-diam.

"Ci, ayo. Lo gak mau mati konyol, kan, di sini? Kita cuma butuh satu permata lagi." Mahen meraih tangan Vichi dan menariknya segera.

Wajah cowok itu terlihat sangat bahagia, mengetahui perjuangannya selama ini akan berbuah manis sebentar lagi. Cukup mencari satu permata dan segalanya 'kan berakhir. Namun, ketakutan akan kekalahan tetap membayangi sebab tidak ada yang tahu seberapa banyak musuh yang akan mereka hadapi ketika tiba di sana.

Miky bersandar di dinding, merosot sampai ke tanah. Cowok itu menyeka peluh di leher dan dahi. Kakinya kebas, ingin hati melepas sepatu, membiarkan udara menggelitik kaki, tetapi keadaan sedang tak mendukung.

"Istirahat dulu. Kita susun strategi dadakan." Cowok bermata sipit itu menarik tangan Vichi agar duduk tanpa dia sadari.

Ketika sadar Mahen menatapnya sinis, dia menerbitkan senyum meremehkan dan semakin mengenggam erat tangan Vichi. Membuat seseorang cemburu ternyata semenyenangkan ini. Apakah yang ada di otak pelakor juga demikian? Entahlah, Miky tidak ingin mendalami sifat itu. Dia hanya mengikuti kata hati yang tak bisa menolak Vichi.

"Gak usah pegang-pegang juga kali." Mahen semakin mengeratkan pegangannya pada tangan kiri gadis itu.

Vichi memejam, otaknya serasa ingin meletup saat itu juga. Peperangan ini jauh lebih penting daripada memperebutkan tangannya. Walaupun dia suka merasakan debaran jantung yang berdetak tak karuan, mungkin karena Miky atau Mahen, tetapi hal ini tidak genting sama sekali.

"Lepasin." Suara gadis itu terdengar rendah dan dalam.

Kedua cowok tersebut seakan bisa melihat aura hitam yang menguar dari tubuh Vichi. Tak peduli, mereka berdua tetap melanjutkan perdebatan tidak penting tanpa mempedulikan telinga Vichi mulai panas.

"Kayak lo gak aja." Miky semakin melemparkan tatapan sengit.

"Gue lebih dulu. Sejak kapan lo belajar jadi tukang nikung?" Mahen berkacak pinggang, masih setia memasang tampang judes.

Miky terbahak-bahak. Tukang tikung? Dia bukan pembalap jadi tidak perlu menikung untuk mendapatkan hati Vichi. Dia hanya perlu bersikap apa adanya, menambahkan bumbu-bumbu cool agar gadis itu memilih dirinya. Dia sadar pesonanya sulit ditolak.

"Gue? Nikung? Ga--"

"Jauh-jauh dari Vichi."

"Setop! Penting gak, sih, bahas gituan?" Vichi menghempas kedua tangan yang membelenggunya. "Kita cuma butuh satu lagi biar bisa lolos dari sini, dan kalian malah la--"

Game (L)over✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang