10: Nope

27 8 20
                                    

"Latihan mulu, kapan istirahat?"

Vichi menurunkan pedang hingga ke samping tubuh, lalu berbalik ke arah sumber suara. Senyum seketika merekah dan selalu seperti itu jika yang dilihatnya adalah Miky. Sejak pertama bertemu cowok itu seakan memberi magnet pada kedua ujung bibir, menariknya ke atas hingga membentuk senyuman.

Dia menumpukan ujung lancip pedang di atas tanah, meraup erat pegangan hitam pada besi panjang ketika Miky mendekat ke arahnya. Keanehan yang hanya dapat dia rasakan ketika melihat netra cowok itu. Kedekatannya dengan Wira tak pernah semendebarkan ini, Mahen pun demikian. Namun, berbeda hal jika Miky yang berbicara, menatap, dan memperpendek jarak dengannya.

"Eh, lo. Ya ... harus latihan. Bahaya gak ada yang tau kapan datangnya."

Miky mengangguk, lantas duduk di sebelah Vichi yang masih setia berdiri. Melihat tidak ada pergerakan dari gadis berikat rambut kuda itu, dia menepuk ruang kosong di sebelah kanan, bermaksud menyuruh Vichi duduk. Ketika gadis bermata bulat tersebut menurut, Miky sadar ada yang aneh dari dirinya.

"Kalau pengen pergi, pergi aja. Gue cuma iseng nyuruh lo duduk." Goblok. Miky membuang wajah, meringis. Apa yang dia lakukan pasti melukai gadis itu.

Vichi tersenyum kecil sembari menggeleng meski sebenarnya ingin sekali menyumpah serapahi cowok ini. Miky jelas mempermainkan perasaannya padahal dia sudah senang diajak duduk bersama.

"Gak, kok. Gue mau duduk dulu baru istirahat."

Miky mengangguk kaku, Vichi menunduk dengan perasaan sedikit jengkel. Keadaan kembali hening. Latar terakhir bermain gim adalah malam hari, maka sekarang mereka tengah menatap langit gelap tanpa bintang di atas sana. Hanya ada bulan bersinar terang dan terlihat cukup besar dari yang selalu dilihat di dunia nyata.

"Lo emang gak dekat sama Mahen?" Pertanyaan pribadi yang tak seharusnya Vichi utarakan.

Gadis itu sudah berpikir Miky tidak akan menjawab, tetapi kenyataannya berbeda. Cowok berhidung mancung tersebut malah mendengkus, tertawa ringan. Ketika Miky menatap tepat ke manik mata Vichi, barulah gadis itu gelagapan bukan main.

"Gue tau gue ganteng, biasa aja lihatnya."

Toyoran pelan di kepala membuat Miky membelakak, tidak menduga Vichi akan seberani itu. Namun, setelah dipikir-pikir Vichi memang gadis pemberani.

"Lo percaya gak hubungan erat persahabatan bisa renggang?" Kali ini Miky menerawang ke depan, melihat putaran film persahabatan dirinya bersama Mahen sebelum berakhir saling memunggungi dan menjatuhkan.

Vichi tertawa cukup keras hingga membuat Miky menggeleng tidak mengerti. Tidak ada sesuatu yang lucu dari pertanyaannya barusan, justru dia cukup sedih saat mengatakan itu.

"Bahkan hubungan lebih dari persahabatan juga bisa renggang, seperti hubungan keluarga misalnya."

Miky sadar, kepalanya mengangguk-angguk setuju. Keluarga yang pernah saling mendukung pun bisa membalikkan punggung, saling menjauh, tak jarang berujung memisahkan diri, meninggalkan kenangan di balik ketegaran berlapis lara, apalagi persahabatan lebih rentan berakhir karena visi yang sudah tak sejalan.

"Lo bener. Hubungan gue sama Mahen pernah sebangsat itu. Tapi, semua memang udah beda, kita bahkan lebih asing dari yang pernah gue bayangin."

"Aneh. Seharusnya perbedaan mengeratkan segalanya, tapi kenapa lo berdua justru membuat hubungan persahabatan kalian jadi renggang?"

Cowok itu memeluk lutut, lalu menatap Vichi. "Sayangnya memahami perbedaan gak pernah semudah itu."

Vichi membuang napas panjang sebelum melontarkan apa yang ingin diutarakan. "Berpisah juga gak pernah semenyenangkan itu. Gue yakin lo sama Mahen pasti pernah berandai-andai pengen ngabisin waktu sama-sama kayak dulu. Tapi, gue rasa ego kalian jauh lebih tinggi sampai harus ngorbanin persahabatan."

Game (L)over✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang