Hentakan tactical boots di atas tanah terdengar menenangkan, disusul dentingan besi saling beradu cukup membuat ngilu telinga. Cukup lama Wira dan Vichi berlatih pedang, yang jadi masalah adalah mereka sama-sama petarung amatir, salah satu dari mereka bisa saja terluka jika tidak berhati-hati.
Mahen ngeri sendiri melihat Vichi hampir terkena tusukan di pinggang jika saja gadis itu tidak segera merunduk dan mengayunkan pedang ke arah kaki Wira, tetapi cowok berjaket army tersebut sigap melompat hingga pedang hanya mengikis angin.
Pergerakan keduanya cukup lancar, bahkan mereka sangat mahir memutar pedang di tangan, meliuk mengejar objek untuk dilukai. Mahen meringis, seharusnya dia juga ikut berlatih mengingat dia juga bisa menggunakan pedang, bukan hanya senjata api. Namun, membayangkannya saja membuat bulu kuduk meremang. Dia takut benda runcing itu, saat bermain gim di dunia nyata pun dia selalu menolak menggunakan pedang.
"Lo berdua, kok, bisa pakai pedang?" Cowok beralis tebal itu sesekali meringis ketika salah satu di antaranya hampir terkena sabetan.
Wira tertawa singkat seraya menghindar dari ayunan besi panjang. "Practice makes perfect."
Jawaban singkat tersebut membuat Mahen terbahak, dia jadi teringat kalimat yang terdapat di bawah buku bermerek sidu. Akan tetapi, benar adanya. Latihan memberi sebuah keajaiban dari tidak bisa menjadi bisa.
"Dari dulu latihannya pakai pedang langsung?" Belum puas, Mahen kembali bertanya.
Kali ini Vichi menjawab. "Kita berdua gak mau ambil resiko latihan langsung pakai pedang waktu itu. Ya walaupun di dunia virtual, tapi perlu hati-hati, jadi kita pakai ranting," tuturnya kurang jelas karena harus berlari ke kiri dan kanan, mundur dan maju untuk melawan maupun menghindar.
"Satu hal yang gue tau setelah berada di sini." Wira menggantungkan kalimat, membuat cowok yang sedari tadi menonton itu mengangkat alis. "Saat manusia merasa terancam akan bahaya, jiwa mempertahankan diri jauh lebih tinggi. Makanya efek paksaan menguasai pedang di samping panahan itu kuat."
Mahen mengangguk setuju. Dia berani karena ketakutanlah yang membuatnya menghadapi musuh. Manusia perlu rasa takut, tanpa perasaan itu tidak akan ada yang mengenal berani dalam hidup mereka.
Latihan selesai, kedua pendekar tersebut duduk di depan Mahen. Mereka bertiga membahas cara apa lagi yang harus dilakukan agar bisa menyelesaikan misi kali ini. Tak dapat dipungkiri kata menyerah senantiasa menggoda, putus asa selalu mengambang dalam jiwa, tetapi mereka tidak mau terjebak selama-lamanya.
Sampai ketika Mahen sadar akan sesuatu, pembicaraan serius beralih ke hal yang menurut cowok itu lebih genting.
"Selama terjebak gue gak pernah makan, apa lo berdua juga kayak gitu?"
Wira dan Vichi kompak tertawa. Pengalaman memang jauh lebih membuktikan kemahiran seseorang. Terbukti, Mahen yang merupakan dewa gim WFD tidak tahu apa-apa jika dibandingkan mereka berdua yang lebih dulu memakan asam, pahit kehidupan dunia virtual.
Wira masih berusaha meredakan tawa. "Emang lo pernah merasa lapar?"
Mahen menggeleng. "Enggak, tapi kenapa bisa haus?"
"Harusnya lo yang lebih tau jawabannya, Hen. Katanya jurusan game application, tapi gini aja lo gak paham," ledek Vichi.
Mahen mengembungkan pipi, sekarang dia terlihat bodoh di hadapan seorang gadis yang sudah mengikat hatinya sejak pandangan pertama. Hening sejenak, dia mencoba memikirkan jawaban yang tepat sebelum Miky muncul dan membuat wajahnya merah padam.
"Itu karena si game developer-nya gak masukin unsur lapar ke dalam program. Kalau soal haus gue udah biasa mainin gim yang karakternya doyan minum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Game (L)over✓
FantasíaMiky dan Mahen adalah sepasang sahabat yang rela bermusuhan untuk mendapatkan gelar Gamers Sejati di angkatan prodi mereka, Game Application and Technology. Nasib baik maupun nahas selalu membersamai, termasuk terjebak ke dalam dunia gim, bertemu se...