Mereka bersiap menjelajahi kota mati untuk menemukan musuh yang mengambil benda ungu itu. Miky dan Mahen mengecek persediaan peluru, Wira dan Vichi memperhitungkan sejauh mana mereka bisa bertahan menggunakan alat berujung besi tajam tersebut, sedangkan Gea sibuk mempertimbangkan pertahanan berdasarkan jumlah obat yang ada.
Setelah semua beres, mereka mulai berderap jauh dari tempat awal bertempur. Kali ini sekitar tampak lebih suram. Gedung-gedung tinggi menutup akses mata untuk melihat keberadaan laut yang seharusnya tidak jauh dari tempat mereka sekarang.
Awan mendung tak ubahnya menjadi terang sehingga kota tak berpenghuni ini terasa semakin mencekam. Sesekali kelima manusia itu bergidik meski tahu makhluk virtual tengah menggantikan kerja makhluk halus. Mata mereka menajam, takut melewatkan mangsa.
"Kapan kita mencar?" Wira merobek kebungkaman teman-temannya. Sedari tadi semua terlihat tegang sehingga berbicara pun terlupakan karena sibuk mengurusi gejolak dari dalam tubuh masing-masing.
Mahen menurunkan senjata lalu membalas, "Di depan sana. Kita mencar kayak tadi." Dagunya bergerak ke depan, menunjuk dua jalan bercabang yang jaraknya sekitar puluhan langkah kaki lagi.
Mereka mengangguk setuju. Jika ingin menang, setidaknya berpencar adalah satu-satunya strategi yang dapat sedikit mendekatkan pada keberhasilan, walaupun pada kenyataannya apa yang mereka inginkan hanya mampu dibayangkan. Kembali pulang? Mereka tidak tahu sampai kapan harus menyelesaikan misi dari level ke level, bisa jadi setelah ini masih ada misi lain yang menunggu.
"Kalau pun nanti kita menang dan berhasil pulang ... lo bisa nemuin gue dan Vichi di UNJ." Tiba-tiba Wira kembali memecah hening, membuat keempat orang itu berhenti di tempat.
Saling pandang tak dapat terelakkan. Memori pada saat pertama kali bertemu berputar otomatis dalam benak. Tidak ada yang tahu berapa hari, minggu, atau bulan terjebaknya mereka dalam sistem gim, yang pasti mereka bisa merasakan keakraban layaknya keluarga meski pernah tampak asing satu sama lain.
Miky tersenyum tipis. "Lo bisa nemuin gue di UGM."
Mahen mengangguk. "Kalau lo udah nemuin keberadaan dia, itu berarti lo udah nemuin gue juga."
Terakhir Gea, gadis paling muda di antara mereka. "Kalian bisa temuin gue di UI."
Dalam sekejap perbincangan itu berubah menjadi tawa. Masing-masing hati menghangat meski didominasi rasa takut. Takut akan kegagalan dan kehilangan.
Berderap cepat, mereka melanjutkan perjalanan, tidak sabar mengumpulkan kelima permata dan mencari gedung rahasia. Di persimpangan jalan, langkah kembali terhenti. Setiap netra menatap netra lainnya sebelum mengambil jalan tujuan masing-masing.
"Lo yakin ke jembatan layang?" Wira kembali memastikan setelah sebelumnya melakukan hal serupa. Dia takut hal tak diinginkan terjadi.
Miky dan Vichi mengangguk serempak, memberi tanda bahwa keduanya yakin dan tidak akan terjadi apa-apa. Namun, Mahen tetap merasa ada yang tak baik-baik saja. Cowok itu maju selangkah, memegang pundak Miky.
Jujur saja, cowok berseragam hitam itu takut. Dia tidak tahu bagaimana mengekspresikan, mengutarakan betapa hatinya gusar. Bukan tanpa sebab, semua berawal ketika Miky memutuskan mengejar musuh melalui jembatan layang, di bawah sana laut virtual selalu siap menelan korban. Mahen tidak ingin membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, tetapi sebagai manusia rasa gusar patut dipertimbangkan.
"Jaga diri." Pada akhirnya hanya dua kata itu saja yang berhasil membuktikan betapa khawatirnya dia.
Miky tersenyum sinis. "Gue gak lemah, tenang aja." Seperti biasa, kata jumawa tetap menempel pada karakternya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game (L)over✓
FantasyMiky dan Mahen adalah sepasang sahabat yang rela bermusuhan untuk mendapatkan gelar Gamers Sejati di angkatan prodi mereka, Game Application and Technology. Nasib baik maupun nahas selalu membersamai, termasuk terjebak ke dalam dunia gim, bertemu se...
