Desau angin menggeletik telinga. Tak ada perubahan dari awan yang bergumul di atas sana. Pinta hati hujan segera turun agar kedua cowok itu bisa lolos dari tatapan tajam seorang gadis di depan mereka, tetapi ketika mengingat dunia virtual adalah tempat bernaung saat ini mereka sama-sama membuang napas panjang sebab hujan tak 'kan turun.
Vichi masih nyaman mengatupkan mulut. Matanya semakin tajam seakan ingin menguliti kedua cowok yang wajahnya sama-sama lebam. Selama ini dia tidak pernah percaya cowok akan sebrutal itu memperebutkan seseorang yang dicintai. Tak dapat dipungkiri ada perasaan aneh melihat Miky dan Mahen bertengkar karena dirinya.
"Sebelum kejadian ini sikap kalian udah aneh, gak seperti biasanya. Gue tau lo berdua emang gak akur, tapi kali ini bukan masalah gak akur lagi."
Miky membuang pandangannya ke arah lain, enggan menatap raut kecewa Vichi. Dia belum mengatakan apa-apa saja Vichi sudah terlihat muak, apalagi jika mengatakan kebenarannya. Menjadikan gadis itu sebagai bahan taruhan jelas perbuatan yang sulit dimaafkan.
Diam-diam cowok bermata sipit itu menunggu Mahen membuka suara. Bagaimanapun juga cikal bakal taruhan tersebut berasal dari ide cowok itu. Andai saja Mahen tidak muncul menawarkan hal gila dan menyulut emosi dia tidak akan berada di posisi ini sekarang.
"Kenapa diam? Gak ada sesuatu yang pengen lo jelasin?"
Dari menit ke menit suara Vichi mulai tak terkontrol. Sesekali terselip emosi tertahan dalam ucapannya, tetapi gadis itu tetap berusaha mengendalikan gejolak amarah dan kecewa yang tercipta. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu tidak ingin membiarkan keadaan semakin rumit karena mengedepankan emosi.
"Gue rasa apa yang lo alami ada kaitannya sama gue. Tapi, kalau lo berdua gak mau jelasin atau merasa gak nyaman karena introgasi ini, gue dengan senang hati bakalan menjauh ... seperti yang Miky lakuin ke gue." Jelingan gadis itu berakhir pada Miky. Cowok itu sama sekali tak berniat menatapnya.
Jangan tanyakan perasaan Vichi saat ini. Terlalu rumit menjelaskan betapa hatinya hancur. Dia menunduk, membiarkan air matanya mengalir tanpa tahu apa yang menjadi pemicu paling menyakitkan baginya. Kakinya perlahan mundur lalu berbalik untuk pergi dari sana.
"Maafin gue." Mahen yang tadinya menyembunyikan wajah dengan cara menunduk, kini menatap bebas ke arah Vichi. "Ini karena kesalahan gue."
Miky membelalak, tidak percaya atas apa yang baru saja dia dengar. Mahen melimpahkan keadaan ini sebagai kesalahannya sendiri tanpa melibatkan orang lain.
"Karena gue juga. Gue minta maaf," sergahnya segera.
Jauh lebih baik. Meskipun di matanya Mahen tak lebih dari seorang musuh, tetapi mengakui kesalahan adalah sikap gentle yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu.
Vichi berhenti, dia berbalik dan kembali mendekat. Usahanya membuahkan hasil. Entah keyakinan dari mana bahwa kedua cowok itu tidak akan membuatnya semakin kecewa.
"Gue cemburu sama kedekatan lo dan Miky. Gue gak pernah suka lo dekat-dekat sama dia, dan dengan bodohnya gue ngajakin dia taruhan."
Mahen memberanikan diri menatap wajah Vichi yang semakin ditekuk karena ucapannya. Tak dapat dipungkiri gadis itu akan menghilangan sisi respek untuknya. Namun, itulah konsekuensi yang harus dia hadapi.
"Gue juga salah karena termakan emosi. Maafin gue atas segala sikap yang membuat lo sedih dan kecewa." Miky menambahkan.
Vichi tersenyum miris. Dia tidak pernah menyangka akan berada di posisi ini. Diperebutkan dua cowok? Adegan yang hanya pernah dia temukan dalam dunia fiksi. Dia menyesal pernah menginginkan berada dalam keadaan seperti itu, dan sekarang ingin menarik ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game (L)over✓
FantasiMiky dan Mahen adalah sepasang sahabat yang rela bermusuhan untuk mendapatkan gelar Gamers Sejati di angkatan prodi mereka, Game Application and Technology. Nasib baik maupun nahas selalu membersamai, termasuk terjebak ke dalam dunia gim, bertemu se...