Chapter 7: Penolakan Dari Sahabat

1.6K 344 113
                                    

Ha he ho teman-temanku sekalian yang (mudah-mudahan) berbahagia. Rasanya aku put too much effort di intro padahal mah ya ga gimana-gimana juga sih. I just wish to entertain you :')

Oke daripada kebanyakan intro kayak Jeffrey yang gak kunjung jujur sama perasaannya ke Oje, langsung aja cus selamat membaca~

---

Belum pernah sebelumnya saya main monopoli sambil memikul beban perasaan seberat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Belum pernah sebelumnya saya main monopoli sambil memikul beban perasaan seberat ini. Debar jantung yang cepat dan nggak menentu ngebuat posisi duduk ikutan nggak tentu. Beberapa kali saya ganti posisi duduk dari bersila, nongkat lutut, selonjoran, sampai jongkok yang bikin Gibran risih.

Pemicu utama kegamangan dalam benak saya saat ini berpusat pada tiga orang di depan sana: Rose, Bayu, dan Bagas. Si Bagas kampret beberapa kali ngelempar lirikan sambil senyam-senyum kayak bagong. Meskipun saya nggak tahu juga sih bagong senyum kayak apa—ya mungkin kayak Bagas dan Bayu saat ini. Mereka terus ngelempar kode yang ditanggapi dengan sangat baik oleh satu sama lain. Sementara itu, Rose yang duduk di antara Bayu dan Bagas tetep ketawa-ketiwi kayak kunti. Untung dia bukan perempuan yang peka. Kalau aja Rose peka, dia mungkin udah bisa memahami semua kode yang dibuat dua makhluk paling jahanam di seantero Depok itu.

“Rose, kenapa kamu masih jomblo sih?” Kali ini giliran Winarto yang bikin jantung nyaris copot. Senyumnya tipis tapi kelihatan licik.

“Iya, kenapa nggak pacaran? Kayaknya banyak deh yang suka sama kamu,” timpal Gibran sopan banget. Mana dia sambil duduk kayak sinden yang rapet banget gitu lagi. Emang dia nggak ngegas cuma sama perempuan selain Lily aja.

“Hmm... kenapa ya?” Rose kelihatan lagi mikir, atau cuma berdalih karena itu bukan jenis pertanyaan yang dia sukai. Tangan kanannya garuk-garuk kepala. Mirip simpanse. Cuma bedanya rambut Rose lebih panjang dan pirang.

Tercipta jeda yang ngebuat empat makhluk super kepo di ruangan ini memasang ekspresi penuh antisipasi. Gibran sama Bagas kelihatan banget sih penasarannya; Winarto dan Bayu kelihatan cukup pandai mengontrol diri. Sementara saya—yang sama penasarannya kayak mereka—cuma diem dan pura-pura nggak tertarik.
“Karena belum ada yang cocok. Kalau ada cowok yang cakep, pinter, tajir melintir, sayang orang tua, pengertian, tinggi, suka berolahraga, dan pastinya sayang sama gue, barulah saat itu gue bakal pacaran.”

Mendengar jawaban itu, sontak aja tatapan empat teman bangsat langsung terhunus ke arah saya. Itu agak ngebuat saya salah tingkah, tapi cuma sebentar, karena saya cukup pinter berkilah dari situasi semacam ini. Bukan karena banyak pengalaman, saya cuma sempat memperkirakan kalau pembicaraan ini mungkin bakal terus-terusan ngebuat saya terpojok dan terekspos.

“Mana ada laki-laki kayak gitu (selain saya).” Saya nyahut dengan nada sok kalem dan sok keren. Mana ditambahin deheman lagi. Rose muter mata males. Tapi alih-alih kelihatan nyebelin, ekspresinya malah kelihatan lucu. “Kalau ada, nanti bakal saya bawain tepat ke hadapan kamu.”

Cinta Bersemi Saat Pandemi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang