Chapter 14: The Most Precious Rose

1.6K 316 177
                                    

Sub judulnya bener-bener dari Jeffrey buat Rose banget. Ya namanya udah cinta, mau berhenti juga susah :')

Chapter ini lumayan panjang, sekitar 3000 kata, tapi untungnya aku publish malem biar bisa sambil ngemil kan. Hohoho... Selamat membaca. Bentar lagi tamat. Jadi jangan lupa kasih voment~

---

Malam itu saya nggak bisa tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu saya nggak bisa tidur. Winarto yang jadi temen sekamar saya tetep tidur dengan nyenyak. Bahkan dia nggak sadar kalau saya sempet keluar terus balik lagi ke kamar dalam keadaan badan panas dan muka merah. Semuanya terasa kayak mimpi—tapi setelah saya nyubit pipi beberapa kali, saya sadar kalau semua itu emang beneran terjadi. Saya berbaring—balik badan ke kanan dan ke kiri—berusaha terlelap sembari mengubur semua asa dan gairah yang terpantik karena inisiasi Rose di kolam renang dini hari tadi.

Tapi sampai pagi menjelang, kantuk sama sekali nggak sudi nyamperin dan saya tetap terjaga dalam kegelisahan. Saya bangun paling awal, bahkan sebelum waktu subuh. Jelas aja, saya kan nggak tidur sama sekali. Kaki yang lemas agaknya terpaksa ngikutin semua kemauan otak yang tetap ngebuat mata terbuka dan kali ini justru menginstruksikan buat keluar kamar dan nyeduh secangkir kopi hitam. Saya duduk di tengah rumah sendirian, mengamati tangga dengan intens, sedikit takut kalau Rose bakal turun duluan.

Untungnya ketakutan saya nggak terwujud. Satu-satunya ketakutan yang sepertinya bakalan terwujud mungkin cuma putusnya hubungan persahabatan dengan Rose. Karena sepertinya nggak ada sahabat yang hubungannya tetap sama setelah ngelakuin hal kayak tadi malem. Bahkan kalaupun cuma nempel, tetep aja itu digolongkan sebagai sebuah ciuman. Apalagi yang tadi malem itu bukan cuma sekadar nempel. Rasanya seolah kami sama-sama menginginkan satu sama lain dan tahu apa yang harus dilakuin. Itu gila. Tapi saya nggak membencinya. Bahkan nggak setitikpun. Sama seperti saya yang nggak pernah membenci rasa pahit dari kopi hitam yang diseduh setiap pagi.

Punggung saya roboh ke belakang, sehingga dengan spontan pandangan ikut berpindah ke arah langit-langit yang tetap terpoles bersih dan nggak mendapat sinar lampu yang terpejam. Saya narik napas dalam, terus mejamin mata, sebelum kembali terbuka karena nggak mau memutar kenangan yang dibuat di tengah genangan air mata. Satu umpatan keluar. Menandai tingkat frustasi yang udah di ambang batas.

Kegelisahan yang saya rasakan sedikit buyar saat suara Bayu dengan jelas menyerukan nama saya. Pandangan yang semula diarahkan ke atas kini berlari ke arah Bayu, menemukan sosoknya yang nggak tinggi menjulang dan sedikit cungkring tengah berdiri dengan segelas air putih di tangan kanannya. Dia ngelihatin dengan tatapan menelisik. Terus nyamperin dan nyodorin flashdisk hitam tepat di depan muka.

Cinta Bersemi Saat Pandemi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang