Chapter 13: Monopoli Hati

1.5K 316 104
                                    

Selamat malam minggu ma luvs~
There's no thing such as weekend because everyday feels like the same.

Nggak kayak biasanya karena chapter ini lebih aman kalau dibaca pas udah buka. Ya nggak ada yang aneh sih, cuma lebih enak dibaca malem aja. Hohoho... Iya gitu. Selamat membaca. Jangan lupa voment~

---

Siang sampai sore tadi kami berdelapan sibuk keliling area sekitar villa dan foto-foto

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang sampai sore tadi kami berdelapan sibuk keliling area sekitar villa dan foto-foto. Winarto datang sekitar jam tiga kurang tujuh menit dengan BMW hitam yang mengangkut beberapa kresek makanan. Dia cerita tentang rencana perjodohan dari orang tuanya yang nggak berjalan lancar karena Winarto sengaja bikin semuanya kacau. Bikin malu orang tua kayaknya jadi salah satu keahlian terpendam si anak Walkot yang nggak banyak orang tahu. Kami juga kaget ketika tahu kalau Winarto punya sisi kayak gitu juga. Biasanya dia cuma manggut-manggut aja dan ngelakuin apapun yang orang tuanya suruh. Mungkin kalau itu udah menyangkut hubungan cintanya, Winarto nggak mau tinggal diam sebagaimana saya dan tiga lainnya sering berlaku demikian. Ya meskipun saya lebih milih buat mencintai Rose dalam diam. Karena kalau sambil teriak-teriak nanti malah ganggu orang.

Ngomongin tentang Rose, tadi siang saya ngompresin jidatnya pakai air es. Untungnya nggak ada benjol atau lebam. Dia juga bilang kalau itu cuma benturan kecil yang nggak bikin sakit. Kalaupun sakit paling cuma dikit, itu pun tadi dan sekarang dia udah baik-baik aja. Udah bisa lari-larian main tag sama Lily, Mina, dan Bayu. Saya, Bagas, Winarto, dan Gibran berasa jadi pengasuhnya. Sejak beberapa saat lalu kami cuma lihatin mereka berempat lari-larian di bawah cahaya bulan—dan lampu taman.

Ditemani secangkir susu sapi, rokok, dan lantunan musik Jazz, kami tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Bagas yang sejak tadi mengepulkan asap rokok dari dalam mulutnya buru-buru mematikan rokok keduanya saat Mina dan kawan-kawan di belakang yang kelihatan kayak anak bebek lagi ngikutin emaknya jalan ke arah sini. Tangannya ngipas-ngipas asap rokok yang masih tersisa, terus senyum dengan ekspresi secerah siang di bulan Juni. Mina ngebales senyuman Bagas. Tapi dia nggak duduk di samping Bagas, melainkan di samping Bayu yang milih buat duduk di samping Lily yang duduk di samping Gibran. Tadinya saya mau nambahin kalau Gibran duduk di samping Winarto dan kokoh tampan nan rapih satu itu duduk di sebelah kiri Bagas. Tapi terlalu ribet.

Mengabaikan dengusan kesal Bagas, saya tetap sibuk ngipas-ngipasin karena Rose biasanya suka protes kalau ada asap rokok. Katanya suka keselek dan batuk-batuk. Makanya kalau ada Rose, sebisa mungkin saya nggak ngerokok. Itu bukan buat cari perhatian, cuma kasian aja sama dia kalau harus tersiksa sama tindakan saya. Terus saya juga cuma ngerokok kalau lagi ekstra stres dan nggak punya pelampiasan. Dan biasanya selalu dilakuin di atas atap, sendirian kayak lagi ngelakuin seven deadly sins padahal yang dilakuin cuma ngebakar daun tembakau kering. Ya, kadang saya juga termakan sama glorifikasi orang-orang yang bilang kalau perokok itu gini gitu—intinya didominasi sama pernyataan nggak baik yang penuh penghakiman. Merokok itu emang nggak baik buat kesehatan tubuh. Tapi tubuh punya kekuatan buat mendetoksifikasi racun dan itu didukung kalau kita punya gaya hidup sehat serta nggak merokok dalam jumlah berlebihan. Saya menuhin syarat itu. Jadi nggak usah khawatir sama kesehatan saya. Dan kesehatan orang-orang di sekitar tentunya. Saya nggak sejahat itu buat ngerokok di tengah kerumunan dan bikin mereka batuk-batuk.

Cinta Bersemi Saat Pandemi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang