Chapter 4: Balada Mahasiswa Tingkat Akhir

2K 425 99
                                    

Hello, so this story makes a comeback after such a longggggg hiatus because the author is kinda random and freak :)

I wish it can entertain you because of its line. Enjoy~

---

Memasuki bulan Agustus, saya semakin sibuk sama sejumlah dokumen buat pengajuan beasiswa S2, sementara Rose semakin kalut karena skripsinya belum juga dapat acc dari pembimbing I

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Memasuki bulan Agustus, saya semakin sibuk sama sejumlah dokumen buat pengajuan beasiswa S2, sementara Rose semakin kalut karena skripsinya belum juga dapat acc dari pembimbing I. Dia mulai kelihatan stres—pasrah bahkan bilang mau drop out aja. Memang tahun akhir itu kerap jadi saat yang paling sulit buat sebagian besar mahasiswa. Sebenarnya, saya juga bukan pengecualian. Cuma karena saya udah muak sama skripsi, makanya saya beresin secepat mungkin supaya bisa segera lulus dan ngelanjutin kuliah di Harvard atau Stanford supaya bisa satu almamater dengan Maudy Ayunda—my ultimate girl crush di samping Mba Nana.

Beberapa kali Rose bakal minta bantuan ke saya buat meriksa skripsinya. Plagiarisme jadi yang paling dia takutkan—meskipun tindakan itu jelas-jelas engga mungkin dilakukan seorang Roseanne Taslim karena akan melanggar dan menyakiti  prinsip serta integritasnya. Karena itu, saya bakal bantu review atau baca ulang minimal buat ngurangin salah ketik atau ketidakselarasan kalimat dalam paragraf. Perihal isi, saya engga bisa banyak bantu karena kami beda jurusan. Tapi selama itu masih dalam jangkauan kemampuan dan pemahaman saya, Rose bebas minta tolong kapanpun dan saya bakal siap sedia buat ngebantuin.

Sabtu pagi tadi, Rose main lagi ke rumah kayak biasa. Lagi-lagi dia cuma mau menghindari pacar kedua saudarinya; kebetulan tadi ada Mas Cahyo—di samping Al yang selalu main tiap minggu karena larangan PSBB udah dicabut. Terus satu bulan yang lalu, Mas Cahyo dan Kak Wendy memutuskan buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Maka dari itu acara khitbah dilakulan, dengan hanya dihadiri sama dua keluarga inti aja. Saya hadir karena keluarga Rose secara khusus minta saya buat datang. Dan rencananya, mereka bakal nikah pada minggu terakhir Desember tahun ini. Secara nggak sadar, Rose pernah mengungkapkan kesedihan karena ngerasa bakal kehilangan kakak perempuannya. Itu perasaan yang wajar dari seorang adik ke kakaknya—saya engga ngalamin hal ini karena jadi anak tunggal, sehingga ungkapan barusan itu hanya hasil dari pengamatan saya terhadap beberapa pasang saudara.

Di samping segala bentuk ketidakjelasan sikap yang Rose tunjukan, tadi pagi dia juga minta saya meluangkan waktu buat mengecek revisi skripsi terbaru yang bakal dia kirim ke pembimbing I. Tapi sampai saat ini, dia belum ngehubungi lagi. Saya masih nunggu, sambil diri di balkon lantai tiga karena selepas adzan Isya Rose selalu ada di luar kamarnya—entah buat bikin saya kesel atau emang mau aja. Intinya, saya lagi nunggu kabar dari dia.

Tepat pukul delapan malam, Rose baru keluar dengan rambut dibungkus handuk, kaos putih bertuliskan, ‘I’m not anti-social, I’m anti-stupid’, dan celana pendek hitam katun yang dibeli dari toko online dua minggu lalu. Malam ini dia memutuskan buat tidur tanpa mengenakan piyamanya.

Cinta Bersemi Saat Pandemi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang