Chapter 10: Healing

1.3K 303 129
                                    

Halo, gimana puasa pertamanya? Mine was easy peasy. Hohoho... engga deng, jam 8 aja ku udah lemah lunglai ._.

Kalian bakal ketemu sama ibu bapak si sad boi yang galau terus sejak sidangnya si sobat tercintah. Untuk ngedukung Jeffrey Athalla lepas dari kegalauan, jan lupa tinggalin voment ya. Met baca cayang~

---

Waktu bergulir dengan cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu bergulir dengan cepat. Perasaaan Agustus baru mulai lusa kemarin, eh sekarang udah akhir bulan lagi. Terhitung hampir tiga minggu sejak Rose sidang—artinya udah selama itu juga saya menarik diri dari dia yang mulai sibuk dengan pacar barunya. Rose nggak berkunjung ke rumah sesering sebelumnya. Sama aja sih kayak waktu dia pacaran sama Juna dulu. Sedikit yang bikin beda mungkin fakta kalau saya makin sadar sama perasaan sendiri. Karena dulu saya selalu ada di fase denial yang panjang, saya berusaha nggak peduli dan itu cukup berhasil. Tapi kalau sekarang, rasanya hati saya tersiksa banget. Tiap hari saya muter lagu Justin Bieber yang That Should Be Me. Ini lagu yang pas buat dikasih ke Kak Rose. Dasar aku, patah hati kok dipelihara.

Kalau patah hati nggak terlalu banyak nguras tenaga dan pikiran mungkin agak gapapa, tapi patah hati ini bikin saya capek lahir batin. Mikir dan gerak berasa capek banget sampai hampir pingsan di tempat—enggak, itu terlalu berlebihan. Meskipun patah hati pakai banget, tapi efek terbesar yang saya rasain sejauh ini paling cuma lemas lunglai nggak bergairah aja. Kerjaan saya cuma selonjoran, guling kanan guling kiri, terus ketiduran. Gitu aja sampai badan lumutan dan tulang akaran.

Saya narik napas panjang, kali ini nggak sambil rebahan. Saya lagi duduk di depan laptop sambil baca email dari calon bos di Amerika. Akhir September saya harus udah ada di sana dan mulai kerja di minggu pertama Oktober. Ini kayak bisa dijadiin media melarikan diri yang tepat karena saya bakalan sibuk kerja. Mudah-mudahan aja kerjaan saya numpuk sampai bikin waktu terkuras dan jatah buat mikirin Rose menghilang dengan cepat. Itu harapan terbesar buat saat ini. Saya mau move on dan tetap memandang Rose sebagai teman kecil. Perasaan saya nggak boleh berkembang lebih jauh dari ini.

Waktu lagi fokus-fokusnya ngetik balasan, tiba-tiba suara di belakang berhembus pelan dan bikin saya ngeluarin banyak banget umpatan. Respon macam apa ini? Biasanya saya nggak sekasar ini. Saya jadi lebih sensitif karena jatuh hati.

“Kata-kata mutiaranya banyak banget,” kata Papah sambil nyandarin badannya ke piano di kamar saya. Tampilannya selalu rapih—kemeja putih dengan jas hitam, celana bahan, dan jam tangan mahal plus rambut yang digel rapih mengkilap kayak pakai minyak goreng bekas pakai alias jelantah. Saya cuma ngasih dengusan, tapi itu nggak bikin Papah marah. “Kata Mamah kamu mau kerja di World Bank.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cinta Bersemi Saat Pandemi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang