Nyai

24 7 1
                                    

Perkantoran, rumah, sekolah, rumah sakit, sungai, laut, bahkan pohon sekali pun bisa menjadi tempat menetap. Mereka ada di mana pun, di sekitar kita dalam dimensi yang berbeda. Manusia terkadang tidak mengetahui dan seringkali berbuat tidak sopan lalu mengusik mereka tanpa disadari. Sejatinya mereka bukanlah entitas yang mengganggu asalkan para manusia tahu bagaimana cara membawa diri.

Saat masih duduk di sekolah dasar, aku seringkali berada di rumah Opa karena kesibukan kedua orang tuaku yang tidak memungkinkan untuk terus berada di sisiku selama dua puluh empat jam. Aku suka berada di rumah beraura hangat ini, rumah yang selalu ramai. Seakan membiaskan kebaikan hati penghuninya. Opa, Oma, Om, Tante dan sepupu-sepupu yang berusia tidak jauh dariku tinggal di sana. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik, menyayangi dan mengajari banyak hal. Tidak jarang aku dan adik lelakiku menginap karena terlalu asyik bermain hingga tanpa sadar malam sudah menjelang. Rumah yang cukup besar itu terdiri dari empat kamar, dapur, dua ruang tamu, ruang keluarga, kamar mandi, halaman depan dan pekarangan di area belakang lengkap dengan ayunan dan pohon belimbing serta beberapa tanaman lain menghiasi, membuat suasana terasa sejuk.

Malam ini kami diizinkan menempati sebuah ruangan bersama tante dan dua sepupu perempuan untuk beristirahat. Kamar luas dengan ranjang tingkat namun berpenerangan minim, hanya cahaya redup dari bohlam kuning. Yah, sebenarnya cukup sebagai lampu tidur. Tingkat pertama digunakan oleh aku, adikku, Tante, dan Yani. Sedangkan tingkat dua yang lebih kecil akan ditempati oleh Ria.

Ada dua jendela besar seukuran pintu menghadap langsung ke arah pekarangan, dimana jika pagi menjelang berkas sinar mentari akan mencerahkan suasana, memaksa untuk terjaga walaupun kantuk tetap ada.

Malam itu kami semua terlelap tanpa menunggu Ria. Ia sudah memberi kabar akan pulang larut dan berpesan agar gerbang pekarangan tidak dikunci agar tetap bisa masuk ke dalam rumah. Yani melakukan berbagai hal sesuai pesan Ria sebelum berbaring disisiku.

Kala itu aku yang sedang bermimpi spontan terjaga mendengar ketukan berulang dari luar jendela. Kulirik Yani sedang mengerjapkan mata mengembalikan kesadaran kemudian berdiri, berjalan ke arah ketukan lalu membuka tirai jendela sementara aku dengan setengah sadar terduduk mengedarkan pandangan mengikuti pergerakan Yani. Ternyata sumber ketukan itu adalah Ria.

Sesuai rencana, Ia pulang melewati gerbang pekarangan, meminta untuk dibukakan pintu ke kamar yang terkunci. Yani lalu dengan sigap membukakan kunci, sementara Aku hanya terdiam karena terkejut melihat pemandangan di balik jendela. Bahkan untuk suatu halusinasi, itu terlalu nyata. Aku melihat di belakang Ria berdiri sesosok wanita tersenyum padaku. Oh, Ria mengajak temannya menginp di sini, batinku.

Begitu Ria memasuki kamar, aku mencari sosok tersenyum tadi yang kukira temannya. Aku mengerutkan dahi keherananan, Ria hanya sendirian. Sadar akan keganjilan itu, dengan ketakutan kuselimuti tubuh dengan selimut tebal hangat lalu memaksakan diri untuk tertidur tanpa menceritakan apapun pada Yani ataupun Ria. Aku yakin mereka tidak melihat seperti yang kulihat saat itu. Bahkan mereka terlihat santai sekali.

Setelah remaja, aku jarang menginap di rumah Opa meskipun sering berkunjung ke sana. Beberapa kali aku mendengar tetangga di sekitar mengobrolkan bahwa mereka melihat sosok perempuan berbaju putih dengan rambut panjang duduk di benteng pekarangan belakang rumah Opaku. Beberapa penjual makanan keliling di malam hari yang kebetulan lewat pun seringkali melihat sosok itu. Perempuan yang hanya duduk terdiam setiap malamnya.

Kabar tersebut sampai ke telinga seluruh penghuni rumah, bahkan kami menamai sosok astral itu 'Nyai'. Makhluk yang menghuni halaman belakang tetapi tidak pernah mengganggu siapapun yang tinggal di sini.

Mungkin Nyailah yang menjadikan rumah Opa tempat aman tanpa mengalami percobaan pencurian meskipun wabah pencurian sedang marak. Lalu aku kembali teringat wanita yang tersenyum di belakang Ria ketika pulang malam. Mungkin itu adalah sosoknya. Nyai yang menjaga dan memastikan para penghuni aman sampai di dalam rumah lalu kembali berjaga dengan caranya sendiri. Atau itu cara uniknya menyapa dan memperkenalkan diri padaku. Tidak satu pun di rumah Opa yang berniat untuk mengusir Nyai. Faktanya, wanita itu tidak pernah mengganggu keluarga besar kami, bahkan menampakkan diri pun tidak, kecuali padaku saat kecil dulu. 

ADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang