Mataku berjelaga melihat ke selilingku, mencari tulisan petunjuk yang bisa mengirimku menuju laboratorium. Di tanganku terdapat selembar kertas rekomendasi cek darah setelah sebelumnya menemui dokter spesialis penyakit dalam.
Postur tubuhku yang tidak terlalu tinggi, bahkan nyaris masuk kategori kerdil, membuatku terpaksa harus menjulurkan leher dan berjinjit agar bisa melihat di antara sela-sela para penghuni dan pengunjung rumah sakit seoul. Kepalaku pusing dan lemah, tapi aku harus berobat sendiri karena tidak enak merepotkan teman kantor.
Jadi ceritanya sudah hampir seminggu ini aku mengalami demam, hilang timbul sebenarnya, jadi aku tidak terlalu menganggapnya, tapi hari ini menjelang sore rasanya badanku tidak karuan. Jadilah aku langsung naik bus menuju RS seoul, dokter sempat menanyakan ini itu hingga akhirnya aku diarahkan untuk cek darah.
Mataku hampir kunang-kunang, akhirnya aku memilih duduk di kursi tunggu seberang counter pendaftaran. Sepertinya ini gejala tifus, karena seingatku dua bulan lalu aku mengalami gejala yang sama, dan dokter menyarankanku agar lebih menjaga pola hidup. Tuntutan pekerjaan dan jarak tempuh ke kantor sangat menyita seluruh perhatianku. Pada dasarnya aku tidak banyak makan, yang penting perutku terisi, dan sering bergadang karena laporan yang menumpuk, mungkin karena itu aku sudah menyiksa diriku sendiri.
"Berobat ke poli apa?"
Aku yang tengah sibuk mengumpulkan tenaga sambil menopang kepala dengan kedua tangan, sontak menoleh ke samping kanan, ke arah datangnya suara. Seorang pria berambut cokelat agak bergelombang tengah menoleh ke arahku, badannya terbalut seragam perawat yang berwarna ungu terang dengan logo RS seoul di sisi saku kanan.
"Oh, aku mencari laboratorium, mau cek darah."
Suaraku terdengar serak dan aneh, padahal sampai tadi masih normal-normal saja.
"Demam sudah berapa hari?" tanya lagi, kali ini mata cokelat gelapnya menelitiku dengan seksama.
"Sepertinya sudah seminggu," jawabku susah payah, rasanya hanya mengobrol sederhana saja menguras tenagaku.
"Mungkin gelaja tifus," vonisnya yang seperti mengkonfirmasi dugaanku.
"Mungkin," jawabku singkat.
"Lab ada ujung koridor sana, memang agak sulit terlihat kalau dari sini," jelasnya dengan tangan menunjuk ke koridor panjang di sayap kanan RS. Aku menjawabnya sambil tersenyum dan tak lupa berterima kasih, berjalan dengan sisa-sisa tenagaku menuju laboratorium.
.
.
.
.
Empat bulan kemudian.
Belum sampai sakura berkembang, aku kembali ke RS seoul dengan keluhan yang sama. Perhatianku tersedot pada layar tv yang menunjukkan berita terbaru tentang aktivitas para pelancong di Gunung Fuji. Seluruh bobot tubuhku bersandar pada kursi tunggu sementara aku berharap namaku segera dipanggil petugas apotek. Dokter bilang aku akan jadi langganan tifus kalau terus menjalani pola hidup seperti ini.
Apa yang bisa aku lakukan dengan kondisi seperti ini?
Ayah dan ibuku bukan pasangan yang berasal dari ekonomi yang berkecukupan. Dua adikku perlu dana untuk biaya sekolah dan aku anak perempuan paling besar. Ayahku bekerja sebagai tukang servis elektronik, yang tidak banyak pelanggan. Kedua orang tuaku sudah berusia hampir 60 tahun. Mereka menikah di usia terlalu matang, dan kedua adikku masih di kelas 2 SMP. Bagaimana bisa aku bersantai sementara keluarga kami sangat bergantung padaku?
Terkadang aku merasa lelah, dan ingin berhenti, berharap waktu berhenti bergerak dan memberikanku kesempatan untuk beristirahat. Namun, harapanku hanyalah genggaman hampa. Belum waktunya aku beristirahat. Aku harus berjuang dan menelan kepahitan macam apapun. Sakit yang aku rasakan belum seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan orang tuaku yang berusaha membesarkan aku dan adik-adikku. Di usia senja ini mereka sudah waktunya beristirahat dan giliran aku yang berjuang. Aku begitu benci tubuhku yang ringkih dan mudah drop.
KAMU SEDANG MEMBACA
liar
Rastgelewarning!!! oneshoot 2 s 3 h 4 o 5 o 6 t . . lapak hunjoy piyak-piyak🐣