Enam bulan kemudian
Felix menggoreskan pena ke kertas putih berisi permasalahan kekeringan di desa Sumarwater. Sejak pagi dia berkutat dengan dokumen-dokumen, menenggelamkan diri sampai lupa waktu. Beberapa menit lagi seharusnya dia menemui Elissa untuk melakukan piknik. Tapi dokumen yang terus berdatangan membuatnya tertahan.
Felix berharap Elissa tak marah karena hal ini. Dia benci melihat Elissa marah, sekalipun itu karena dirinya sendiri. Felix terlalu memanjakan Elissa sehingga gadis kecil itu gampang merajuk saat keinginannya tak dituruti.
Dia menghela napas. Bahunya pegal sekali. Menjadi raja bukanlah hal yang semudah mencabut rumput dari tempatnya. Pasti ada saja yang harus diurus.
Tiba-tiba pintu diketuk. Sebelum Felix mengetahui siapa yang telah mengganggunya, sesosok gadis kecil menyembulkan kepala dari pintu. "Papa!" kata Elissa riang. Dia menutup pintu yang dijaga oleh ksatria Felix, Hartley.
Felix tersenyum. Melihat sang anak membuat entah kenapa membuat pegal di bahunya menghilang. Dia jadi percaya dengan kata-kata orang tua dulu. Elissa mencium pipinya seperti biasa, lalu beralih ke dokumen-dokumen.
"Bagaimana dengan pikniknya? Apa semua persiapan sudah selesai?" tanya Felix sambil mengelus rambut halus Elissa. Sengatan aneh menjalar ke jari-jari, dan dia pun menarik tangan. Entah apa yang dia rasakan tadi, dia tak paham. Dan memilih untuk mengabaikannya.
"Sudah kok, Pa." Elissa membaca salah satu dokumen. Felix telah memenuhi semua kebutuhan Elissa, termasuk pendidikan. Baginya Elissa adalah anak paling pintar yang pernah dia lihat. Dia yakin Elissa bisa menjadi pewaris tahta terbaik.
Seharusnya pemegang pewaris tahta adalah Caleste, tapi dia bahkan tak menganggap anak itu putrinya. Caleste tak pantas menduduki singgasana ratu. Hanya Elissa. Terlebih status Caleste hanyalah putri terbuang. Felix tak mau memikirkan penderitaan Caleste dan memilih untuk lebih memikirkan Elissa.
Dia tak yakin apakah Caleste benar-benar putrinya atau tidak.
"Kalau begitu tolong tunggu sebentar. Aku selesaikan beberapa dokumen dulu." Dia menandatangani dokumen dengan cekatan. Tangan ramping dengan jemari panjang itu sudah memintanya untuk berhenti menulis.
"Aku datang kesini bukan untuk menjemput Papa. Yah, sebenarnya itu juga alasannya, tapi ada alasan lain," kata Elissa. Tangannya memainkan pena bulu.
Dahi Felix berkerut. "Lalu apa itu?"
"Aku ingin bertanya apakah aku boleh mengundang Kak Caleste ke pesta ulang tahunku," balasnya.
Felix mengerutkan keningnya makin dalam. Mengingat Caleste membuatnya tak suka. Dia benar-benar membenci gadis itu. Memang ulang tahun Elissa telah dekat, tinggal tiga hari lagi. Felix mempersiapkan keperluan pesta sejak kemarin. Hartley dan sekretasinya, Shelton Courtney, memastikan semua kebutuhan pesta lengkap.
"Tak perlu. Jangan mengundang anak itu."
Elissa menarik sudut bibirnya. "Sudah kuduga Papa akan berkata begitu." Dia berkata ringan.
Felix menghentikan kegiatan menulisnya. Pena bulu itu tergeletak di atas kertas yang baru setengah tertulis. Itu balasan surat untuk Grand Duke. "Dan kau akan merengek supaya aku mengizinkan hama itu datang?"
"Sebenarnya untuk kali ini aku ingin menurut saja dengan Papa."
"Kenapa? Tumben." Felix menepuk puncak kepala putrinya.
Elissa menggeleng. "Aku hanya malas berdebat saja. Lagipula, pangeran kedua Kerajaan Avehar nanti akan datang. Kita pasti sibuk menyambut mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Destiny of the King's Daughter [√]
FantasíaCaleste de Eirren adalah putri terbuang di Kerajaan Idezaveros. Dia selalu berusaha untuk menarik perhatian ayahnya, Felix de Eirren. Tapi sayang seribu sayang, Felix tak pernah menganggap Caleste sebagai putrinya. Elissa, hanya dialah yang disayan...