6. Gift & Cake

1.3K 196 2
                                    

Caleste menghabiskan hari dengan membaca buku dan sedikit memperagakan gerakan-gerakan berpedang. Dia berusaha melupakan kejadian di perpustakaan dengan kesibukan yang ada. Tapi kejadian itu hanya terlupakan sebentar, lantas kembali lagi.

Sudah seperti boomerang saja.

Caleste menyudahi bacaannya saat petang menjelang. Dia keluar dari kamar lewat jendela lantas memanjat pohon apel di sebelah Istana Lilac. Apel di situ rimbun, sebagian masih berwarna hijau. Caleste mengambil beberapa apel merah, menyantapnya dengan duduk di salah satu dahan pohon.

Petang ini langit berawan bersih. Siluet oranye dari langit membawa kesan kehangatan untuk dunia. Kicau burung menjadi pengiring, mereka terbang ke sarang sebelum hari gelap. Matahari mulai menghilang dari balik puncak gunung, seolah cahayanya ditelan. Samar bayang bulan nampak, berwarna putih keperakan.

Keramaian di ibukota mulai menyurut seiring malam mulai menguasai. Kios-kios ditutup, tapi beberapa masih buka. Pasar sudah tutup total sejak sejam yang lalu. Di jalanan kota, para penduduk berjalan kembali ke rumah mereka. Lampu-lampu perlahan dinyalakan, menerangi rumah dan jalan.

Caleste memandang pemandangan sore ini sambil bersenandung kecil dan kedua kaki diayun-ayunkan. Suaranya hambar, tidak bagus-bagus amat. Tidak cocok untuk jadi penyanyi. Tapi terkadang, Caleste bernyanyi kecil kalau sedang bosan.

Dia menatap ke arah Istana Loctus. Dengan hari yang menjelang malam, lampu di istana itu mulai dinyalakan. Para pelayan terlihat berlalu-lalang. Tapi Caleste tak melihat bayang Elissa sama sekali.

Aula Istana Rose kini sudah bersih sempurna. Sisa-sisa pesta tak kelihatan lagi, menyisakan aula kosong yang digunakan untuk acara-acara besar kerajaan. Caleste menduga mungkin saat ini Elissa sibuk membongkar kado dari para bangsawan. Terbayang di kepalanya begitu senang gadis itu mendapat kado yang pastinya sangat mahal harganya.

"Ayah sedang apa ya saat ini? Apa sedang bersama dengan Gadis Bermuka Dua itu?" Sejak beberapa hari yang lalu, Caleste belum menemui ayahnya. Felix pasti sibuk karena pesta ulang tahun Elissa dan Pangeran Alvern.

"Aku ingin menemui Ayah," gerutunya. "Hah, ya sudahlah. Akan kutemui dia besok dan mengucapkan selamat pagi." Caleste menyantap apelnya lagi dengan riang. Dia harus kembali ke dalam kamar sebentar lagi. Bukan apa-apa, hanya untuk merapikan buku-buku ke dalam rak.

"Apa kau tak memiliki kebiasaan lain selain duduk di atas pohon, Kak?"

Caleste terperanjat. Satu apelnya pun jatuh lantas menggelinding di tanah. Sekarang apelnya tersisa tiga. Dia menunduk guna melihat orang yang telah mengejutkannya. Tapi tanpa melihat pun, dia tahu betul siapa orang itu.

"Kau? Apa yang kau lakukan disini?" kata Caleste pada Elissa.

Elissa di bawahnya hanya diam. Kedua tangannya memegang sebuah kotak berukuran sedang. Wajahnya datar, tapi kilatan matanya menunjukkan bahwa dia jijik melihat kebiasaan Caleste yang tidak cocok untuk Tuan Putri.

"Turunlah. Leherku bisa-bisa pegal karena terus mendongak."

Caleste mendengus, tapi akhirnya menurut saja. Dia lompat dari satu dahan ke dahan lain dengan sangat mudah. Lalu mendarat di tanah dengan kedua kaki. Dia benar-benar ahli kalau dalam soal melompat, memanjat, dan berlari.

Entah dia ini masih pantas disebut Tuan Putri atau tidak.

Ogah-ogahan Caleste mendekat, menyisakan jarak satu meter dengan Elissa. Dia memandang sang adik dengan tak minat, tapi tak berniat untuk mengusirnya juga.

"Ada apa?" Caleste bertanya datar. Ekspresi kedua gadis tersebut sama, tapi dengan kilat mata berbeda.

Elissa menyodorkan kotak itu. "Untukmu." Caleste mengangkat alis sambil menatap kotak berhias tali berpita dengan warna hijau –– persis seperti warna mata Caleste. "Ini apa?" Caleste tak langsung mengambil kotak dan memilih untuk menanyakannya lebih dulu.

The Destiny of the King's Daughter [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang