23. Dad is Back

1.6K 181 1
                                    

Felix mengelus rambut Caleste yang selembut rambut Luisa dalam ingatannya. Tak ada lagi tatapan kebencian, hanya tatapan kasih sayang dan kekhawatiran yang membuat Peter dan Kathryn membuka mulut lebar-lebar.

Sudah lima jam berlalu, tapi putrinya belum sadar juga. Makin detik, Felix makin risau. Efek dari pertarungan sihir suci dan sihir hitam di dalam tubuh Caleste, ternyata membuat gadis itu mengalami efek parah.

Caleste sempat mengalami kejang-kejang dan dari mulutnya keluarlah darah merah segar. Para pelayan harus mengganti sprei dan bajunya. Tak hanya itu, suhu tubuh Caleste memanas dalam waktu singkat.

Felix telah mengerahkan tiga dokter dan empat penyihir guna menyembuhkan Caleste. Tapi mereka hanya bisa membantu sedikit, perseteruan sihir tetap terjadi beberapa jam kemudian. Felix yang geram sampai memecat para penyihir, dia frustasi melihat kondisi putrinya.

Dan sihirnya pun sama saja. Tak banyak membantu.

Rasa bersalah merongrong hati Felix. Dia telah menyakiti Caleste berkali-kali dan kini dia sangat menyesalinya. Padahal Felix sudah berjanji pada Luisa untuk menyayangi Caleste.

Memang ini ulah sihir hitam. Tapi itu tak mengurangi rasa bersalahnya.

Kedua tangannya yang telah melempar Caleste dan menampar pipinya, terasa sangat sakit. Nyeri membakar telapak tangannya seolah dia mendapat lecutan cambuk.

Nyatanya, tangan inilah yang telah menyakiti Caleste. Dia hanya bisa membisikkan kata maaf, berharap putrinya lekas bangun.

Felix menggenggam tangan sang putri yang panas, mengurungnya dengan kedua tangan. Andai bisa mengulang waktu, Felix rela kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya. Dia akan membereskan Maria dan iblis. Tapi sayangnya di sini tak ada sihir semacam itu.

Sihir pembalik waktu hanyalah hal para dewa. Felix jelas tak bisa meminjamnya.

"Cepatlah bangun, Caleste. Jangan membuat Ayah semakin risau," bisiknya. Caleste tak merespon, dadanya naik-turun secara teratur menunjukkan pernapasannya masih normal.

Tiba-tiba tangan Caleste dalam genggaman Felix bergerak. Felix nyaris berseru, tapi yang dia lakukan hanyalah mencondongkan tubuh lebih dekat dengan Caleste. Mata sang putri bergerak, ringisan tertahan keluar dari bibir mungilnya.

Felix menunggu dengan tidak sabar.

–––––––––––––––

Caleste membuka matanya dengan kesusahan. Sekujur badannya terasa panas, tulang-tulang seperti habis dipelintir, kepala pening bukan main, tenggorokan sangat kering dan serak, dan tangan berkeringat dingin.

Sial, aku terkena demam tinggi.

"Caleste, kau sudah bangun?"

Suara khas lelaki itu memenuhi gendang telinga Caleste. Dia samar melihat sosok yang ada di atasnya, pertama-tama mengira kalau itu adalah Alvern. Tapi Alvern tidak memiliki rambut cokelat dan tak bermata biru. Alvern lebih 'terang' dibanding itu.

"Ughhh .... " Dia mendengar suara rintihan dari mulutnya, merasakan napas panas keluar dari hidung. Demam tinggi merepotkan! Seumur hidup, baru kali ini Caleste terkena demam setinggi ini.

Dia baru sadar kalau tangan kanannya dipegang oleh sosok itu. Butuh beberapa detik untuk mengenali wajah di atasnya, yang seketika membuatnya ingin melompat kalau saja tak ingat sedang demam.

"Ayah ..., " kata Caleste sangat pelan. Felix yang dia lihat sangat berbeda, ayahnya berwajah khawatir sekali. Ekspresinya saat melihat Caleste sadar seolah ingin bersujud syukur pada Dewa Matahari.

The Destiny of the King's Daughter [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang