7. Injustice

1.2K 192 3
                                    

Pinggir danau Istana Loctus

Caleste menyandarkan badan pada pohon yang dia duga merupakan pohon mangga. Karena belum ada buahnya –– atau mungkin ini karena Caleste yang malas memperhatikan –– jadi dia tak bisa memastikan. Pikirannya kosong sejak tadi, sekosong kaleng soda yang habis isinya. Kotak kue cookies berada di pangkuannya dalam kondisi terbuka.

Caleste memakan kue-kue itu sendirian. Mungkin perasaannya saja, tapi kue buatannya ini kurang manis. Pandangannya menyapu ke danau, mendengar kecipak tenang airnya. Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam danau, membuat bagian dalam sana terang. Cukup terang untuk bisa melihat batu kuarsa di dasar sana.

Seperti hari-hari sebelumnya, danau ini sepi. Elissa tak berniat menaiki perahu –– saat ini kemungkinan dia sedang belajar dengan gurunya, dan tak ada satupun pelayan atau prajurit istana yang memergokinya. Bagus. Caleste butuh kesendirian saat ini. Dia malas berbicara dengan siapapun.

"Lama-lama kepalaku bisa pecah kalau terlalu banyak pikiran," kata Caleste, masih mengunyah kue. Ia menatap kotak, menghela napas melihat kuenya masih tersisa banyak. Bukan masalah besar, dia bisa menghabiskan kue-kue itu secara berkala. Karena kalau dihabiskan bersamaan, dijamin, dia bakalan kena mual atau begah.

Kue ini banyak dengan ukuran kecil-kecil. Caleste bertanya-tanya kenapa dia membuat cookies sebanyak ini kalau pada akhirnya dimakan sendiri? Hah, yang penting dia sudah berusaha. Walaupun ditolak mentah-mentah oleh Felix.

"Kenapa Ayah membenciku? Apa yang telah terjadi, ya? Ugh, aku tak bisa berpikir jernih." Caleste mengusap wajah kasar. Dari kecil pertanyaannya tetap sama, tapi sampai sekarang belum menemukan jawabannya. Kalau saja ada petunjuk ....

"Apa iya aku harus menjadi detektif dadakan? Kedengarannya keren, tapi menemukan gelang hilang saja butuh waktu berjam-jam," katanya sambil mengelus dada dramatis. Caleste tak pandai mencari benda hilang, apalagi menemukan petunjuk-petunjuk dari masa lalu.

Walau begitu, dia tak bisa diam saja. Caleste harus mencari tahu alasan Felix membencinya. Kalau hanya karena dia anak selir, sepertinya itu terlalu mudah. Ada alasan lain yang tersembunyi, sesuatu yang terjadi saat dia masih bayi atau bahkan dalam kandungan.

Kemana dia harus memulai pencarian ini?

"Rasa-rasanya hidupku ini tak adil." Dia mengusap bahu kanan, tempat bekas luka itu. Caleste tak berani mengintip, padahal itu cuma bekas luka. Bayang masa lalu berkelebat di kepalanya, suara-suaranya berdengung di telinga, sementara jantungnya seakan lompat ke leher.

"Kenapa kau menganggap hidupmu tak adil?"

Caleste mendongak. Jantungnya sekarang benar-benar lompat ke leher. Akhir-akhir dia sering kedatangan sosok tak terduga, tapi dari kesekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus Alvern?! Sang pangeran mendekatinya –– Caleste sama sekali tak mendengar langkah kakinya kesini, pasti dia terlalu lama merenung –– dengan Peter di belakangnya.

Dia bergegas mengemasi kotak, bersiap kabur –– walaupun persiapan itu disamarkan dan lebih kelihatan seperti pengemasan barang biasa –– tapi tangan Alvern mencekal tangan pergelangan tangan kiri Caleste. Tangan Alvern terasa dingin, Caleste bertanya kenapa seorang pangeran bisa memiliki tangan seperti itu?  Atau ini karena Caleste yang selalu beranggapan kalau tangan pangeran seperti Alvern hangat. Salahkan novel-novel yang terkadang mendeskripsikannya begitu.

"Pangeran Alvern," kata Caleste sambil tersenyum, senyuman palsu untuk menutup-nutupi niat kaburnya. Dia menatap tangan Alvern yang melingkar pergelangan tangannya, ukurannya pas. Kulit Alvern yang pucat mengingatkan Caleste pada makhluk penghisap darah.

"Anda tidak boleh kabur lagi kali ini, Nona." Alvern menyunggingkan senyum tipis. Caleste menegak ludah, bagaimana dia bisa tahu niatku? Apakah Alvern ini semacam pangeran yang bisa membaca pikiran?

The Destiny of the King's Daughter [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang