Keesokan harinya setelah pesta ulang tahun Elissa
Caleste memulai harinya dengan mandi yang hanya dibantu oleh satu pelayan –– dan nampak tak tulus itu. Saat menyisir rambut, si pelayan terlalu kasar melakukannya. Memang biasanya Caleste mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan pelayan dan lebih baik begitu.
Dia melihat pantulan wajah si pelayan yang datar-datar saja. Para pelayan memang sering menghinanya, tapi itu semua tentu dilakukan ketika dia tak ada di sekitar mereka. Padahal dia tepat bersembunyi di balik tembok atau manapun dan mendengar semua hinaan tersebut.
Merasa kesal karena rambutnya ditarik-tarik, Caleste merebut sisir di genggaman si pelayan. "Kau keluar! Kalau tak tulus mengurusku, lebih baik pergi sana." Mumpung ada kesempatan, kali ini Caleste takkan tinggal diam.
Penghinaan seperti ini bukan hanya untuk diperhatikan saja.
"Baiklah, Tuan Putri. Saya juga lebih senang jika Anda mengurus diri Anda sendiri." Si pelayan memelankan kalimat terakhirnya. Tapi gadis itu masih sanggup mendengarnya.
"Aku mendengar apa yang kau ucapkan. Jika kau tak ingin terkena amarahku, keluar sekarang juga!" katanya dengan intonasi datar tapi mengancam.
Si pelayan meneguk ludah, pasti tak menduga Tuan Putrinya bisa sebegitu tegas. Dengan ketakutan dia setengah berlari meninggalkan Caleste dan lupa tak mengucapkan salam.
Caleste mengalihkan pandang ke cermin. Kedua tangannya bertumpu pada meja rias. Meja rias yang sangat sederhana. Perlengkapannya tak selengkap seorang putri bangsawan pada umumnya. Caleste juga lebih terbiasa mengenakan riasan tipis dan kalem.
Yah, walaupun jati dirinya tidak kalem-kalem amat. Seorang putri kerajaan yang suka sekali memanjat pohon dan tak kapok walau sudah jatuh dan terluka berkali-kali? Oh, itu adalah Caleste.
"Ish, bagaimana aku bisa bertemu dengannya? Huh, buat pusing saja." Dia mengingat pertemuannya dengan Alvern lalu menggigiti kuku.
"Semoga dia tak tahu kalau aku putrinya Ayah." Bukan apa-apa, Alvern adalah orang luar kerajaan. Sementara identitasnya disembunyikan oleh dalam kerajaan. Jika Alvern mengetahui bahwa dia adalah putri sulung Felix yang ditelantarkan, apa yang akan terjadi nanti?
Perang?
"Eh, tidak-tidak. Kalau hanya begitu masalahnya, tak mungkin akan terjadi perang. Tapi pasti akan ada perseteruan atau perdebatan karena tindakan tidak adil dari Ayah." Caleste khawatir kalau hubungan baik kedua kerajaan jadi retak karena dirinya.
Dia tak mau hal itu terjadi.
"Berarti satu-satunya cara adalah jangan bertemu dengan Pangeran Alvern. Kalaupun tak sengaja, langsung kabur." Caleste mengangguk, menyetujui pikirannya. Dia pun menyisir rambut, memakai sedikit polesan bedak, dan parfum ocanic air.
Caleste membalikkan badan ke meja rendah kaca. Buku-buku perpustakaan masih bertumpuk di sana. Tidak hanya buku tentang filsafat dan ekonomi, tapi ada juga satu novel bergenre petualangan.
Dia hanya bisa belajar lewat buku-buku perpustakaan, tidak ada guru yang mau mengajarnya. Percuma. Felix tak memberikan akses pendidikan yang selayaknya anggota keluarga kerajaan dapatkan.
Namun Caleste beruntung memiliki otak encer yang mudah menyerap ilmu dengan cepat. Tapi akan beda lagi ceritanya kalau anda saja Caleste memiliki guru. Dia bekerja keras untuk mempelajari semua ilmu tanpa bantuan siapapun. Melelahkan, jujur saja.
"Sudah waktunya mengembalikan buku sekaligus aku mau meminjam buku lain," katanya sembari merapikan buku-buku dan menyingkirkan kertas-kertas ke dalam laci. Kertas itu berisi coretan-coretan abstrak yang dia torehkan ketika bosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Destiny of the King's Daughter [√]
FantasiaCaleste de Eirren adalah putri terbuang di Kerajaan Idezaveros. Dia selalu berusaha untuk menarik perhatian ayahnya, Felix de Eirren. Tapi sayang seribu sayang, Felix tak pernah menganggap Caleste sebagai putrinya. Elissa, hanya dialah yang disayan...