Mata Elissa memincing, wajahnya memerah karena marah. Alvern dan Caleste saling tatap, cemas. Ketiganya –– sekaligus Peter –– tak menyangka kedatangan Elissa ke ruangan ini.
Caleste menatap adiknya, dia seolah kembali ke masa lalu. Tatapannya berbeda daripada dingin, ini lebih mirip tatapan saat dulu dia masih menjadi bocah penakut. Aura mengintimidasi Elissa membuatnya jadi ciut, aura ini terasa lebih pekat dibanding saat dulu berumur sembilan tahun.
"Tuan Putri, ini tidak seperti yang kau pikirkan," cegah Alvern. Dia berdiri, menghalangi pandang Elissa dari Caleste. Dia bersiap membela Caleste karena memang gadis itu tak bersalah apa-apa.
Elissa melipat tangan di depan dada. "Benarkah? Lalu, apakah kalian sudah saling mengenal? Kalian kelihatannya sangat dekat," cibirnya.
Caleste menggeram dalam hati. Meskipun ia takut dengan aura intimidasi Elissa, ia takkan diam melihat Alvern terpojok. "Kami memang saling mengenal," balasnya tanpa memedulikan tatapan terkejut Alvern.
"Kalian sering bertemu diam-diam, 'kan?"
"Kau tak perlu mengetahuinya, Tuan Putri." Alvern membalas tegas. Elissa mendengus, Caleste kaget karena dia serta-merta mengeluarkan sifat aslinya tanpa berpikir panjang. Tapi kalau tertangkap basah seperti ini, susah untuk menghindar. Kemungkinan terbesarnya, Elissa akan mengadu pada Felix.
"Sudahlah, jujur saja. Kakak, kenapa kau bertemu berduaan dengan pangeran secara diam-diam?"
"Apa kau harus mengetahui semua yang kulakukan, Elissa? Kau 'kan bukan siapa-siapanya dia. Pangeran Alvern yang memutuskan untuk membantuku, tidak ada yang bisa mencegahnya," balas Caleste.
Alvern tambah melotot padanya. Caleste mengabaikan walau dia tahu maksud pelototan Alvern. "Apa yang kau bicarakan? Kau hanya membuat Yang Mulia marah lagi jika mengetahui hal ini," bisiknya.
Caleste tetap pada pendiriannya. Dia tahu resiko atas perbuatannya, tapi dia tak bisa diam saja. Elissa telah menunjukkan sifat aslinya, ini tidak baik. Dia bertaruh kalau adiknya itu tak pernah menunjukkan sifat ini selain pada dirinya.
"Aku tahu resikonya, pangeran. Tapi aku takkan membiarkan pangeran menghadapi dia sendiri dan merusak nama baik Kerajaan Avehar. Kita harus meluruskannya."
"Kau hanya memperparah situasi, Caleste." Gadis itu terkejut, tak menyangka Alvern memanggil namanya langsung dan ekspresi yang tak pernah ditunjukkan Alvern padanya. Ekspresi itu menyatakan kalau Alvern tak setuju dan kesal.
"Ah, jadi begitu rupanya. Kakak memanfaatkan Pangeran Alvern untuk membantu kakak? Betapa rendahnya."
Caleste geram dengan ucapan adiknya, langsung berdiri. Dia menahan sakit di semua luka yang didapatnya dari Felix. "Bisa-bisanya kau berbicara begitu?! Aku sama sekali tak memanfaatkannya. Kami ... bertemu secara tak sengaja. Dia dengan senang hati menolongku. Bukan begitu, pangeran?"
Alvern hanya diam, bengong karena pertengkaran Caleste dan Elissa. Ia sangat tak menginginkan ini, ia tak ingin kedua saudara tersebut bertengkar hebat. Dan di satu sisi, ia cemas bukan main. Aura Elissa sangat mengancam, tak terpikir olehnya jika nanti Elissa menyakiti Caleste.
"Pangeran hanya diam, apakah kau berbohong, kak?" Elissa membalas sengit sambil menyeringai. Tapi matanya mulai dipenuhi cairan bening, Caleste mengernyit karenanya.
"Pangeran Alvern, jawab!" Caleste yang merasakan amarahnya makin meninggi karena dituduh yang tidak-tidak, kini membentak Alvern. Sang pangeran kembali ke kasadarannya, tersentak karena teriakan Nonanya.
"Itu benar. Tuan Putri Caleste tak memanfaatkanku, akulah yang datang dengan sendirinya. Jangan menyalahkan kakakmu, Tuan Putri. Dia tidak rendah seperti yang kau pikirkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Destiny of the King's Daughter [√]
FantasyCaleste de Eirren adalah putri terbuang di Kerajaan Idezaveros. Dia selalu berusaha untuk menarik perhatian ayahnya, Felix de Eirren. Tapi sayang seribu sayang, Felix tak pernah menganggap Caleste sebagai putrinya. Elissa, hanya dialah yang disayan...