Martin bergegas lari meninggalkan Tessa, masuk ke Gedung sekolah dan menuju ke ruang seni. Ia tidak menemukan siapapun kecuali seorang Bu Febri.
"Astaga, sudah kuduga. Gawat kalau begini." ucap Martin.
Ia pun mulai takut dan cemas karena Ia tau sikap seorang Patrick. Patrick adalah orang yang sangat sensitif bahkan hanya untuk hal-hal yang bisa dibilang tergolong sepele. Tessa dengan nafas tersengal menyusul Martin di depan ruang seni dan ikut sadar bahwa Patrick sudah pergi.
"Di mana Patrick? Kok tidak ada di ruang seni?" tanya Tessa yang heran dengan keberadaan Patrick.
"Kamu pura-pura tidak tau. Dia seharusnya sudah selesai dan pergi duluan dari sini. Dia pasti lagi dalam keadaan yang ga baik untuk saat ini. Kamu kan harusnya bisa beli minuman sendiri. Kenapa harus bareng aku sih?" jawab Martin dengan sedikit menyesal.
"Iya, maaf kalau aku kayak anak kecil. Mendingan kita sekarang pergi ke tempat tunggu kamu sama Patrick kalau mau pulang. Siapa tau dia ada di tempat itu." ajak Tessa untuk menenangkan Martin.
"Oh iya, benar juga, oke ayo ke sana." ucap Martin dengan harapan bahwa Patrick belum pulang.
Tessa dan Martin meninggalkan ruang seni dan keluar dari Gedung sekolah. Mereka bergegas lari ke tempat biasanya Martin dan Patrick menunggu untuk dijemput. Dari kejauhan Martin dan Tessa sudah melihat kehadiran seorang Patrick yang sedang duduk sendirian sambil mendengarkan music dengan AirPods nya di satu meja yang terdiri dari tiga tempat duduk. Mereka berdua segera mendatangi seorang Patrick.
"Hey Patrick, 'dah berapa lama lu disini?" tanya Martin.
Patrick hanya terdiam saja berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Martin sambil menghentakkan kaki nya yang seolah-olah sedang menikmati musik rock yang Ia dengar.
"Patrick, udah lama di sini?" ucap Tessa mengulangi pertanyaan Martin.
"Oh, lumayan lama sih, ga tau deh lama apa engga, sekitar 15 menitan lah kira-kira." jawab Patrick kepada Tessa.
"Pat, gua minta maaf ya, tadi gua lupa nungguin lu karena Tessa minta temenin beli minuman di kantin." ujar Martin meminta maaf kepada seorang Patrick.
Patrick lagi-lagi hanya terdiam tidak menjawab dan berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Martin.
"Patrick, itu Martin mau minta maaf sama lu." ucap seorang Tessa agak sedikit kencang sambil memeberikan kode tangannya yang mengira bahwa Patrick tidak mendengar nya.
"Oh begitu... yaudah." Ucap Patrick singkat menjawab seorang Tessa.
Tessa yang merasa pertanyaan nya dijawab oleh seorang Patrick tidak merasakan suatu keanehan dalam percakapan tersebut. Tetapi seorang Martin mengetahui bahwa Patrick hanya berpura-pura untuk tidak mendengar. Ia tahu bahwa Patrick melakukan hal itu karena Patrick merasa sangat kesal dan geram dengan dirinya. Meskipun begitu, Martin tidak menyerah untuk bertanya kembali kepada seorang Patrick.
"Lu dijemput siapa, Om Taufik atau ada keluarga?" tanya Martin yang terus mencoba agar dijawab.
Tetapi hasilnya tidak yang seperti diinginkan. Patrick tetap saja berdiam diri dan tidak menjawab pertanyaan Martin. Padahal Ia sebenarnya mendengar sangat jelas pertanyaan yang dari Martin. Martin yang merasa geram pun secara spontan mencabut AirPods dari telinga seorang Patrick.
"Pat, jangan pura-pura ga denger lah! Gua tau lu emang lagi marah jadinya gamau jawab gua. Tolong lah, jangan kayak anak kecil." tegas Martin dengan sedikit kesal.
Patrick yang sedaritadi sedang menikmati lagu, merasa kaget saat AirPods nya secara tiba-tiba dicabut dari telinga nya dan mendengar teriakan Martin.
"Eh, apa sih Tin?! Kok asal cabut-cabut aja. Gua juga tadi udah bilang iya pas lu minta maaf. Ga denger apa? Lu kali yang kayak anak kecil, omongan ga bisa dipegang. Santai aja kali." tegas Patrick yang ikut kesal dengan seorang Martin.
"Lagian lu malah pura-pura ga dengar, orang kan jadi merasa ga dihargai. Gua tau lu kesel, tapi ga gini lah caranya. Ga menghargai orang banget." ujar Martin yang masih dalam suasana geram setelah mendengar jawaban Patrick.
"Tau lah Tin, capek gua dengernya. Disuruh santai malah minta ribut." jawab Patrick singkat dan pelan.
"Udah ah kalian. Masalah sepele aja sampai berantem begini. Gua yang salah Pat. Gua yang maksa untuk ngajak Martin menemani aku ke kantin. Kalian itu sahabatan lho, masa gara-gara masalah begini aja langsung berdebat dan ngambek. Mendingan sekarang kalian baikan, gausah diingat lagi kejadian yang tadi. Sudah cukup lah berantemnya. Gua mohon banget sama kalian." mohon Tessa yang ingin melerai mereka berdua.
"Engga Tes, lu ga salah kok. Cowo apalagi yang dewasa emang seharusnya udah bisa pegang kata-kata sendiri. Ga ada alasan lain untuk melanggar nya. Apalagi dengan alasan lupa." Ujar Patrick.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih dari Cukup
Cerita Pendek"Lu bukan hanya seorang sahabat. Lu adalah teladan dan segalanya yang ternyata gua butuhkan selama ini."