Sahabat/Musuh

11 6 0
                                    

Patrick sampai di rumahnya, membuka pintu rumah, dan langsung dipertemukan dengan orang tuanya yang berdiri persis di depan pintu rumah. Mereka berdiri dengan wajah yang sangat menyeramkan, hendak ingin mengeluarkan segala kata-kata dan amarah mereka, dan ternyata benar.

"Ada apa ini berdiri berdua di depan pintu? Mau menyambut aku?" tanya Patrick bermaksud untuk bercanda.

Namun, kedua orang tuanya tidak memberikan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan seorang Patrick. Mereka hanya tetap berdiam diri menatap Patrick dengan ekspresi geram.

"Aduh, oke aku ngerti. Ada masalah apa lagi? Baru pulang sekolah langsung dimarahi." ujar Patrick yang mengerti bahwa ada masalah yang disebabkannya.

"Mama dan Papa tadi melihat quintal hasil nilai ujian fisika kamu. Nak, ini pelajaran penting, kok bisa remedial? Memangnya kamu tidak belajar?" tanya Ibu nya kepada Patrick.

"Satu nilai ini bisa menghancurkan nilai lain yang ada di rapor lho nak. Pas awal tahun kamu bilang kalau kamu mau dapat beasiswa di SMA, kalau nilai rapor mu hancur, bagaimana?" tanya Ayah Patrick yang mengingatkan tentang target nya untuk mendapatkan beasiswa.

"Aduh, itu dadakan Ma, Pa. Saat materinya dijelasin juga aku tidak terlalu mengerti. Makanya saat diumumkan ada ujian fisika, aku sendiri juga takut karena aku tau kalau aku ngga paham dan ngga siap." jelas seorang Patrick kepada kedua orang tua nya.

"Makanya belajar yang serius. Lihat sahabatmu, si Martin. Dia selalu dapat juara kelas setiap tahun. Padahal dia dari keluarga yang sederhana dan cukup. Kamu? Mama dan Papa sudah sediakan segala sarana dan fasilitas yang bisa membantu kamu belajar, tapi tetap saja perubahannya tidak signifikan." tegur Ibu dari Patrick.

"Martin lagi... Martin lagi.. tau lah. Aku capek sekolah, mau istirahat dulu." ucap seorang Patrick dengan sikap tak acuh.

Patrick bergegas pergi ke atas, mandi dan mengganti pakaiannya. Ia berbaring di tempat tidur nya masih dengan perasaan yang dikuasai oleh emosi. Kebahagiannya karena kejadian Martin tadi hanya berakhir sebentar, disebabkan orang tuanya yang memarahi nya tentang nilai jelek nya. Sebenarnya Ia kesal bukan karena dimarahi, namun karena selalu dibandingkan kembali dengan seorang Martin. Martin selalu ada dalam bayang-bayangnya. Dalam segi apapun, selalu ada nama Martin. Patrick sampai lupa bahwa Martin itu adalah sahabatnya, bukan musuhnya.

Patrick mencari segala cara untuk mendinginkan kepalanya namun tidak menemukan apapun. Ia teringat pada momen di sekolah tadi, yaitu selesainya hubungan antara Martin dan juga Tessa. Patrick berpikir untuk menghubungi seorang Tessa untuk menanyakan kabarnya dengan tujuan agar bisa melakukan pendekatan terhadap Tessa. Patrick sangat berharap agar bisa menggantikan peran seorang Martin dalam kehidupan Tessa.

"Tess, turut sedih atas berakhirnya hubungan kalian ya. Bagaimana kabarmu?" ujar seorang Patrick melalui chat

"Iya, terimakasih Pat. Pat, gua cuma mau bilang minta maaf kalau selama ini gua ada berbuat salah sama kalian berdua. Titip salam sama Martin nanti di sekolah ya. Tapi, sekarang gua memutuskan untuk menjauh dari kalian berdua. Gua minta maaf banget, sekali lagi. Gua butuh waktu untuk pulih dari keadaan mental gua yang sekarang. Sekali lagi, makasih ya Pat." tegas seorang Tessa yang menjelaskan keadaannya sekarang melalui chat.

"Oh iya, tidak apa-apa. Terimakasih juga Tessa." jawab seorang Patrick dengan singkat melalui chat.

Patrick yang seharusnya menjadi lebih tenang, malah menjadi semakin geram dan frustasi setelah melihat respon Tessa terhadapnya. Responnya menunjukkan bahwa memang tidak ada lagi kesempatannya untuk menggantikan seorang Martin. Rencana nya tidak berhasil sepenuhnya. Namun, hal ini malah membuat dendam nya semakin menggila terhadap Martin. Ia berpikiran bahwa semua masalah yang terjadi disebabkan oleh seorang Martin.

Lebih dari CukupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang