Hari berganti, Patrick pun seperti biasa pergi langsung ke sekolah dan segera mencari sahabatnya, yaitu Martin. Ia masuk ke kelas dan melihat Martin sedang terduduk sedih di kursi paling pojok. Patrick pun segera menghampirinya dan mulai menjelaskan semuanya.
"Martin, gua mau bicara sebentar." ucap Patrick.
"Iya, kenapa Pat? Tiba-tiba banget." jawab Martin dengan heran.
Sebelum bicara, Patrick sudah meneteskan air matanya karena perasaan sedih atas penyesalannya.
"Pat, gua mau minta maaf ya. Gua bukan sahabat yang selama ini lu kenal. Beasiswa SMA itu, gua dapatkan karena hasil kecurangan gua. Gua tau bocoran soal ujian dari OB kenalan gua. Karena gua, lu harus pindah sekolah ke kampung halaman lu. Karena gua juga, lu kehilangan Tessa. Iya, gua yang merencanakan semua hal itu. Gua sangat menyesal atas semua hal buruk yang gua udah lakuin hanya karena sifat iri gua. Terserah lu, mau marah atau mau berbuat apapun ke gua, gua terima semuanya. Gua gagal menjadi sahabat lu Tin, lu pernah bilang kalau lu memilih sahabat karena Ia baik dan juga jujur, tapi semua hal itu gaada di gua sama sekali. Gua minta maaf." ucap Patrick dengan tangisan yang terus berlanjut.
"Pat, lu memang jahat. Gua ga menyangka kalau lu akan melakukan semua hal buruk itu ke gua. Benar, memang gua memilih orang sebagai sahabat karena mereka memang baik dan jujur sama gua. Lu udah jujur dan baik ke gua kok Pat. Sekaran ini, lu sedang menjadi sahabat yang gua kenal. Dan, satu hal yang penting adalah, sahabat apa yang tidak bisa mengampuni sahabat nya sendiri. Kalau dia ga bisa mengampuni sahabatnya, maka Ia lebih tidak pantas disebut sebagai seorang sahabat." ucap Martin dengan terharu.
"Tin, terimakasih banyak. Lu bukan hanya seorang sahabat. Lu adalah teladan dan segalanya yang ternyata gua butuhkan selama ini. Tapi gua baru sadar semua itu sekarang." ucap Patrick dengan penuh penyesalan.
Hari itu merupakan hari terakhir mereka bertemu dan datang ke sekolah yang sama. Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu mereka di tempat tunggu pulang biasanya. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan orang tua Patrick.
"Mama dan Papa? Kalian ngapain ada disini?" tanya Patrick dengan heran.
"Kami sudah mendiskusikan semua masalah yang terjadi dengan mu, Patrick. Martin akan mendapatkan beasiswa yang pantas di SMA ini." Ucap Ayah dari Patrick
"Hah?! Benar begitu? Yesss! Martin selama atas beasiswa mu. Kita masih bisa bersekolah bersama." ucap Patrick dengan penuh kelegaan.
"Belum selesai sampai disitu, jangan senang dulu. Patrick, sayang sekali kamu harus keluar dari sekolah ini, karena kecurangan berat yang sudah kamu lakukan. Papa dan Mama sudah menerima keputusan sekolah dan akan mencarikan sekolah baru untuk kamu." tambah Ibu dari Patrick.
"Oh, oke Ma, tidak apa-apa." Jawab Patrick dengan ekspresi sedih karena tetap tidak bisa satu sekolah lagi dengan Martin.
"Dan Martin, setelah berpikir panjang dan berdiskusi dengan keluarga kamu, Papa dan Mama memutuskan bahwa mulai sekarang, kamu merupakan bagian dari keluarga kami." jelas Ayah dari Patrick.
"Hah? Maksudnya?!" tanya Martin dan Patrick yang masih sangat bingung.
"Iya, kalian sekarang bersaudara dan Martin akan tinggal bersama-sama dengan kita." ucap Ibu dari Patrick dan juga Martin.
"Terimakasih Mama dan Papa, aku sayang sekali dengan kalian. Selamat datang juga, saudaraku." ucap Patrick dengan tangisan senang.
Mereka semua berpelukan sebagai satu kesatuan, sebagai keluarga yang harmonis dan damai. Martin memang tidak satu sekolah dengan Patrick, namun mereka hidup di satu rumah yang sama.
Begitulah kisah persahabatan mereka. Patrick pun belajar bahwa pada akhirnya, perbuatan iri hati hanya akan membawa penyesalan. Ia terlalu pusing memikirkan sesuatu yang tidak Ia punya sampai Ia lupa bahwa sebenarnya, semua yang Ia benar-benar butuhkan sudah ada bersama-sama dengan dia sejak dari awal. Ternyata, semua yang Ia punya sudah lebih dari cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih dari Cukup
Cerita Pendek"Lu bukan hanya seorang sahabat. Lu adalah teladan dan segalanya yang ternyata gua butuhkan selama ini."