"Selamat datang," ucap Rama dan Helga secara bersamaan. Keduanya menyambut kepulangan putra serta menantu mereka yang baru saja tiba setelah liburan bulan madu yang menghabiskan waktu hampir satu bulan penuh tersebut. Setelah mencium tangan kedua orang tua mereka, Kirana dan Kaivan tersenyum menatap keduanya.
Meskipun tidak menanyakan apa pun, tetapi sebagai orang tua, Rama dan Helga tahu jika ada yang sudah terjadi antara keduanya. Dalam arti lain, rencana bulan madu yang keduanya susun memang berhasil bagi pasangan muda itu. Bisa saja, keinginan mereka untuk menimang cucu akan segera dikabulkan oleh menantu mereka. Namun, karena mereka tidak ingin sampai Kirana merasa tertekan, keduanya memilih untuk tidak membicarakan hal seperti itu.
"Ayo sekarang masuk dulu. Ibu sudah menyiapkan minuman segar untuk kalian, pasti perjalanan terasa sangat melelahkan," ucap Helga lalu menggandeng menantunya dengan suasana hati yang sangat baik.
Sementara Rama menatap putranya yang terlihat begitu santai dan berada dalam suasana hati yang baik. "Sepertinya ada yang tengah merasa begitu bahagia di sini," ucap Rama membuat Kaivan tersenyum tipis. Saking tipisnya, hal itu hampir saja luput dari pandangan. Hanya orang-orang yang sudah mengenal Kaivan sejak lama yang bisa menyadari senyumannya itu.
"Bagaimana mungkin aku tidak bahagia jika bulan madu kami berjalan dengan sangat lancar?" tanya Kaivan penuh arti pada sang ayah.
Rama mengangguk-angguk. "Semoga ada kabar baik. Karena ibumu sudah benar-benar ingin menimang cucu," ucap Rama sembari melangkah mengikuti jejak para nyonya.
Kaivan yang melangkah di sisi sang ayah berkata, "Kabar baik akan datang tidak lama lagi."
Rama tergelak. "Itu kepercayaan diri yang terlalu berlebihan, Kaivan. Jangan mengatakan sesuatu yang belum bisa kau pastikan. Jangan mengatakan hal ini pada ibumu. Bisa-bisa ia akan kecewa jika apa yang kau katakan tidak menjadi kenyataan," ucap Rama memberikan peringatan pada putranya agar berhati-hati dalam bertindak apalagi di hadapan ibunya.
Namun, Kaivan tersenyum penuh arti sebelum menjawab, "Ayah seperti tidak mengenalku saja. Memangnya aku pernah tidak menepati apa yang aku katakan? Kita lihat secepat apa perkataanku akan menjadi kenyataan, Ayah."
Rama yang mendengar hal tersebut menggeleng tak percaya. "Sebenarnya, sifat siapa yang menurun padamu, Kaivan?" tanya Rama penuh selidik.
"Tidak perlu berpura-pura tidak tahu, Ayah. Bukankah jelas, bahwa aku mewarisi semuanya darimu?" tanya balik Kaivan sembari menyeringai tipis.
Keduanya memang terlihat sangat mirip. Pembawaan mereka memang terlihat santai, tetapi membawa kesan misterius yang membuat keduanya lebih menarik untuk dikenal. Darah keturunan bangsawan yang mengalir pada keduanya juga membuat aura mereka terkesan berbeda daripada orang lain pada umumnya. Sayangnya, ada sebuah pembatas yang membuat tidak sembarang orang bisa mengenal atau mendekati keduanya. Hanya orang-orang terpilih yang bisa nyaman tinggal di sekitar mereka.
***
Kirana menatap sebuah figura foto berukuran besar yang membingkai sebuah foto pernikahan dirinya dengan Kaivan. Mereka mengenakan pakaian yang dirancang sendiri oleh Kirana, dan terlihat begitu menawan. Dengan kemampuan potografer, yang mumpuni momen tersebut diabadikan dengan sempurna. Jika Kirana dan Kaivan memang pasangan yang sesungguhnya, menikah dengan dasar cinta, pasti Kirana saat ini akan merasa sangat terharu melihat foto tersebut. Kirana menghela napas panjang, merasakan begitu banyak emosi yang bergejolak dalam hatinya. Setelah pulang dari Jerman, yang tak lain adalah destinasi terakhir dari perjalanan bulan madu, Kirana berada dalam suasana hati yang sangat buruk.
"Sebenarnya apa yang membuatmu terganggu, Rara?" tanya Kaivan yang kini sudah berdiri di samping Kirana. Ia ikut menatap foto pernikahan mereka yang dipasang di ruang utama kediaman di mana mereka akan tinggal ke depannya.
Benar, kini Kaivan dan Kirana tengah berada di kediaman baru yang dipersiapkan Kaivan untuk membina rumah tangga bersama dengan istrinya. Semuanya sudah ia persiapkan, dimulai dari dekorasi hingga furniturnya sudah ia pilih dan cocokan dengan desain bangunannya. Lusa, pelayan dan staf keamanan yang dipersiapkan oleh orang tua Kaivan akan datang untuk membantu menjaga serta merawat kediaman mewah tersebut. Rumah itu terlihat sangat sempurna.
Dengan foto-foto pernikahan berbagai pose yang tersebar di sepenjuru rumah. Terasa sangat hangat dan penuh kasih. Benar-benar terlihat seperti rumah baru dari pasangan suami istri yang penuh kasih. Padahal pada kenyataannya, Kirana dan Kaivan hanyalah orang asing. Orang asing yang terpaksa terikat dalam sebuah pernikahan.
Sayangnya, Kirana tidak mau lagi terlarut dalam hal semu tersebut. Kirana menghela napas sebelum menjawab, "Tidak ada hal lain yang menggangguku, selain pernikahan ini. Aku tetap ingin bercerai."
"Apa?" tanya Kaivan lalu mengubah posisi hingga mengahadap Kirana.
Kirana sendiri memilih untuk menghadap Kaivan hingga kini saling berhadapan. "Aku ingin bercerai. Keinginanku tidak berubah."
"Meskipun setelah malam-malam yang kita lewati selama bulan madu?" tanya Kaivan.
Kirana mengepalkan kedua tangannya, karena tiba-tiba mengingat saat di mana dirinya menghabiskan malam yang panas dengan pria yang berstatus sebagai suaminya itu. Malam itu, Kirana jelas sudah melakukan kesalahan karena sudah larut dalam godaan Kaivan, hingga tidak bisa menghentikan hal yang salah itu. Namun, kini berbeda. Kirana tidak ingin kembali melakukan kesalahan yang sama. Kirana harus menghentikan hal ini, dan menjauh dari kehidupan Kaivan. Karena ia sadar, hidup bersama dengan Kaivan membuat Kirana kembali bertemu dengan orang-orang yang tidak ia inginkan.
"Ya, aku tidak merasa keberatan. Kita tidak melakukan perzinahan, dan aku rasa tidak apa-apa untuk bercerai walau sudah melakukan hal itu," ucap Kirana.
"Sayangnya aku yang tidak merasa baik-baik saja. Aku, tidak akan menceraikanmu," ucap Kaivan bersikukuh.
Saat Kirana akan mengungkapkan kekesalannya, Kaivan segera memotong, "Alasan pertama, masih seperti apa yang sudah aku katakan sebelumnya. Aku tidak ingin mengingkari janji yang sudah aku ucapkan di hadapan Tuhan. Aku tidak akan berpisah dengan istriku, hingga maut memisahkan. Kedua, ada kemungkinan jika dua minggu ke depan, ada janin yang tumbuh di dalam rahimu."
Mendengar hal itu Kirana pun terkejut. Jelas Kirana lupa akan kemungkinan bahwa malam yang pernah ia lewati dengan Kavian bisa membawa sebuah nyawa di dalam rahimnya. Namun, Kirana yakin jika sekali percobaan tidak mungkin bisa membuahkan hasil. Selain itu, Kirana menangkap sesuatu yang ganjil dalam perkataan Kaivan.
"Bagaimana jika aku tidak hamil? Apa kau mau bercerai denganku?" tanya Kirana menemukan celah yang bisa ia manfaatkan.
"Aku rasa, kemungkinan sangat kecil kau tidak hamil," ucap Kaivan penuh percaya diri.
Kirana mendengkus. "Aku lebih mengenal tubuhku. Sekarang jawab pertanyaanku, bagaimana jika aku tidak hamil? Apa kau mau menceraikanku?" tanya Kirana.
"Aku tetap yakin jika kau akan hamil, Rara," jawab Kaivan bersikukuh membuat Kirana jengkel.
"Kalau begitu, ingin membuat taruhan dalam kesepakatan?" tanya Kirana dengan percaya diri. Kirana mengenal tubuhnya dengan baik. Ia sendiri mengalami gangguan dalam periode menstruasi karena stress dan kondisi hormonnya. Karena itulah, ovulasi dan menstruasi Kirana gak kacau. Apalagi saat ini dirinya tengah stress parah. Ia yakin, kesalahan malam itu tidak akan membuatnya hamil.
"Terdengar menarik. Jadi apa yang ingin kau pertaruhkan?" tanya Kaivan menangkap umpan Kirana.
"Mudah. Jika aku tidak hamil, kau harus segera mengurus perceraian kita," jawab Kirana.
Kaivan mengangguk paham. "Tapi jika kau hamil, maka kau harus bersedia untuk tetap menjadi istriku. Kau tidak boleh meminta bercerai di masa depan, dan harus patuh padaku. Setuju?" tanya Kaivan.
Kirana yang percaya diri akan menang dalam pertaruhan tersebut mengangguk. "Setuju. Truhan ini berlaku selama satu bulan. Setelah satu bulan, aku akan melakukan pemeriksaan," ucap Kirana.
"Ya, lakukan sesuai dengan apa yang kau inginkan, Rara. Hanya saja, kau perlu mengetahui satu hal," ucap Kaivan lalu meraih helaian rambut panjang Kirana yang dibiarkan tergerai.
"Rara di masa depan nanti, jangan sekali-kali bermain-main dengan taruhan, apalagi dengan diriku. Karena di dalam hidupku, tidak ada sejarah seoarng Kaivan kalah dalam hal apa pun," bisik Kaivan lalu mencium helaian rambut Kirana membuat istrinya itu merinding bukan main, karena merasakan intimidasi yang luar biasa dari Kaivan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pengantin Pengganti
Romance[Karena mengandung unsur DEWASA maka SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE. FOLLOW SEBELUM MEMBACA. Biar nyaman bacanya😄] Di usianya yang mencapai dua puluh lima tahun, Kirana belum memikirkan pernikahan. Ia masih sibuk sebagai seorang desainer yang tengah n...