[04. Tentang sholawat]

1.4K 231 27
                                    

Reva sedang merapihkan pakaiannya ke koper saat Ummi Aisyah menghampiri ke kamar. Wanita itu tersenyum sambil mengusap kepalanya yang tertutupi jilbab abu.

"Reva beneran mau tidur di asrama?" ia bertanya dengan nada lembut.

Tanpa berpikir Reva menganggukkan kepalanya. "Biar kerasa jadi santri beneran, Ummi."

Iya, tadi selepas bertukar kabar dengan daddy-nya lewat telpon milik Abi Maulana, Reva tiba-tiba saja berkeinginan untuk tidur di asrama bersama santriwati yang lainnya. Reva ingin menjadi santri sungguhan. Tidur di asrama, mematuhi seluruh peraturan pesantren, dan mengikuti program apapun yang ada. Tidak akan lama, Daddy-nya sudah berjanji setelah lebaran ia akan dipulangkan. Lagipula, kalau dirinya main-main, itu sama saja dengan buang-buang waktu, bukan?

Setelah merapihkan pakaian dan barang-barangnya, Reva dituntun Ummi Aisyah menuju asrama. Mereka disambut Adinda yang mana Reva akan tidur satu kamar dengan gadis 16 tahun tersebut.

"Kalau gak nyaman langsung bilang ke Ummi, ya." setelah berkata demikian, Ummi Aisyah pamit undur diri hendak ikut Abi Maulana belanja sembako.

Reva sendiri langsung ditarik Adinda dan dibantu memasukkan pakaiannya ke lemari kayu yang tersedia. Di kamar yang akan ditempati Reva, ada dua ranjang bertingkat dan empat kasur. Satu milik Adinda, satunya yang akan digunakan Reva, dua lagi adalah milik Tiara dan Asma.

"Teh Reva tamu Abi yang dari Jakarta itu 'kan?" tanya Tiara yang baru saja selesai memakai jilbab.

"Iya." Reva membalas singkat. Tentu saja dirinya masih canggung.

"Yang itu Tiara, Teh. Kalau yang ini Asma." Adinda memperkenalkan. Reva mengangguk kecil seraya tersenyum.

"Semoga betah ya Teh, tidur bareng kita. Kalau Teh Reva kebangun gara-gara Tiara ngorok, sumpel aja mulut sama idungnya," canda Asma. Tiara mendelik sambil mengerucutkan bibirnya.

Reva dan Adinda tertawa. Setelah selesai merapihkan pakaian, mereka duduk-duduk santai. Adinda duduk di kursi, Reva di tempat tidurnya, lalu Tiara dan Asma di kasur Asma yang mana bersebrangan dengan Reva.

Reva memangku gitarnya yang tadi baru diberikan Tristan sebab tertinggal di mobil. Selain pandai bermain alat musik, Reva juga memiliki suara yang lumayan bagus. Adinda, Tiara, dan Asma bahkan kagum dibuatnya.

"Teh Reva ikutan qosidah aja, suaranya bagus," celoteh Tiara.

Sambil tertawa kecil, Reva menggelengkan kepalanya. "Nggak deh. Tapi, kalau disuruh ngafalin sholawat gue mau. Nyanyiinnya versi gue sendiri. Gue ada hafal salah satu sholawat, mau denger?" tiga gadis yang memperhatikannya mengangguk semangat.

Tersenyum kecil, Reva mulai memetikan senar gitar hingga menciptakan nada yang mengalun lembut.

"Allahumma sholli wa sallim ‘ala ...."

"Sayyidina wa Maulana Muhammadin."

"‘Adada ma fi’ilmillahi sholatan."

"Daimatan bidawami mulkillahi."

Adinda, Tiara, dan Asma bertepuk tangan setelah Reva memetik nada terakhirnya.

"Keren banget. Aku pernah minta ajarin main gitar sama A Asep, tapi gak dilanjut karena jariku melempuh," curhat Adinda.

Reva terkekeh. "Gak papa, namanya juga proses. Kalau udah biasa pasti kebal kok, gak kerasa sakit lagi," ujarnya.

Adinda mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetep aja gak mau belajar lagi."

"Gak papa, bisa main gitar gak menjamin masuk surga," celetuk Reva, disambut tawa oleh yang lain.

"Eh, omong-omong, udah tahu keutamaan sholawat belum, Teh?" Reva menggelengkan kepala. "Kalau gitu, Teh Reva harus tau. Teh Nabila sering ngebahas dan cerita-cerita tentang sholawat sama aku. Dan itu berhasil bikin aku cinta sholawat dan gak pernah ngelewatin satu haripun tanpa bersholawat." Adinda mengambil posisi duduk ternyaman sebelum mulai bercerita.

Bad Girl, Nyantri?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang