[08. Tawaran perdamaian]

1.1K 228 55
                                    

Sama dengan hari kemarin, sebagian dari para santri dan santriwati pondok pesantren Al-Ikhlas hari ini kembali mengisi bazar amal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sama dengan hari kemarin, sebagian dari para santri dan santriwati pondok pesantren Al-Ikhlas hari ini kembali mengisi bazar amal.

Kalau kemarin menjaga stand nasi kotak, hari ini Reva kebagian menjaga puding jagung bersama Asma dan tiga orang santri lainnya. Karena kedatangan anak-anak Geng Proklisi, pekerjaan mereka jadi lebih ringan sebab stand-nya dibagi lebih banyak.

"Adinda sama Tiara kemana, sih?" tanya Reva sebab sejak tadi dua gadis yang disebutkannya tidak juga muncul.

"Tiara nemenin Adinda pulang ke rumahnya, Teh. Katanya ada keperluan, nanti malam balik lagi ke pesantren kok," jelas Asma.

"Jauh?"

"Nggak kok, paling dari pesantren setengah jam-an."

Reva melotot. "Setengah jam mah jauh tauk!"

"Kalau pake motornya jalan lima puluh, Teh. Teteh kan pasti sering kebut-kebutan, jadi setengah jam buat jarak yang jauh." kali ini Reva tersenyum kikuk, membenarkan perkataan Asma dalam hati.

"Neng, saya mau pudingnya sepuluh, ya."

Permintaan ibu-ibu yang mampir di stand mereka langsung dibungkuskan oleh Asma. "Seperti biasanya, Teh. Seikhlasna wae."

"Emangna te rugi kitu Neng, jualan cara kieu?" tanya si Ibu-Ibu sambil memberikan selembar uang dua puluh ribu.

[Emenag gak rugi gitu Dek, jualan dengan cara kayak gini?]

"Anggap aja sedekah, Teh. Kan gak semua orang mampu buat beli. Jadi, kita suruh mereka bayar semampu mereka. Kalau pun nggak punya uang, ya kita kasih. Lagipula, uang hasilnya nanti bakal disumbangin lagi ke orang-orang yang membutuhkan," jelas Asma diselingi senyuman.

"Ohh, alhamdulillah. Sing berkah atuhnya. Kalau gitu Teteh pamit, assalamualaikum."

"Aamiin, hatur nuhun, Teh. Wa'alaikumsalam."

Reva duduk di kursi plastik dengan dagu bertumpu pada lipatan tangan di atas meja. Sejak kemarin ada begitu banyak pelajaran-pelajaran baru yang ia dapatkan. Begitu banyak sekali tamparan yang berhasil membuat hatinya terenyuh.

Hampir delapan belas tahun hidup di dunia, untuk pertama kalinya Reva seolah merasakan bagaimana rasanya menjadi orang-orang dengan perekonomian yang kurang. Jangankan untuk membeli baju lebaran, membeli makanan untuk berbuka puasa saja mereka tidak memiliki cukup uang.

Sedangkan Reva, ia lahir dari keluarga berada. Semua kebutuhan dan keinginannya terpenuhi dengan baik. Tapi, Reva masih kurang bersyukur atas hal itu. Ia tak pernah mau menyadari, bahwa di luaran sana ada banyak orang yang tak seberuntung dirinya.

Reva baru tersadar begitu dangkal pemikirannya selama ini. Ia membenci Allah SWT yang mengambil Mama-nya, padahal di balik itu Allah memberikan lebih banyak untuknya.

Bad Girl, Nyantri?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang