Adinda memasuki rumah milik Abi Maulana lewat pintu belakang. Tadi Ummi Aisyah memintanya untuk mengambil wadah di dapur.
Setelah mendapatkan apa yang hendak dia ambil, Adinda berniat langsung keluar namun, keberadaan seorang laki-laki yang sedang berbaring di ruang tengah dengan wajah ditutupi sungkok membuat gadis itu mengurungkan niat.
"A Asep?" panggilnya pelan namun, tak ada sahutan. Setelah panggilan kedua, barulah laki-laki berkoko salem itu tersadar akan keberadaannya.
Adinda terdiam. Langsung memalingkan wajah tat kala menyadari ia sudah terlalu lama menatap. "A Tristan ngapain di sini?" tanyanya pelan.
"Cuma tiduran, lagi agak kurang enak badan," jawab Tristan seadanya.
Adinda memberanikan diri untuk kembali menatap Tristan, memperhatikan sebentar wajah laki-laki itu yang memang agak berbeda dari biasanya. "Sudah minum obat?"
"Kan puasa."
"Astaghfirullah. Iya, lupa." Tristan terkekeh, membuat jantung Adinda makin tak karuan saja.
"Kamu sendiri, lagi ngapain di sini?"
"Disuruh ambil wadah sama Ummi." Adinda mengangkat benda yang dimaksud. "Kalau gitu A Tristan tiduran lagi aja. Aku pamit ya, A. Assalamua'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
=BGN=
Waktu berbuka sudah tiba. Kini semua penghuni pesantren Al-Ikhlas sedang menikmati hidangan yang tersedia. Termasuk, Reva yang kali ini duduk berdampingan dengan Ummi Aisyah. Keduanya sesekali berbincang dan melempar candaan. Ummi Aisyah selalu banyak tertawa jika sedang bersama Reva. Hal itu tentunya tidak luput dari perhatian Asep yang tengah menikmati kurma bersama Abi Maulana dan Ustaz Husein.
Reva memukul tangan jahil Tristan yang berniat mencuri kurma miliknya. Cowok itu meringis bukan karena pukulan Reva, melainkan tangannya terantuk tiang.
"Gimana? Manis kurmanya?" ejek Reva. Tristan mendengkus, lalu kembali duduk anteng. Tidak anteng sebenarnya, karena sejak tadi ia merasa pusing, ditambah badannya panas sekali.
Saat semua santri mulai beranjak dari aula untuk menunaikan sholat, Reva bingung melihat Tristan yang masih duduk bersandar dengan lengan menutupi wajah.
"Tristan, are you okay?" tanya Reva.
Tristan menurunkan lengannya, lalu menepuk-nepuk tempat di sampingnya, intruksi untuk Reva agar adiknya tersebut duduk. Walaupun, masih agak bingung namun, Reva tetap melakukannya.
"Heh, lo kenapa, sih?" tanya Reva saat Tristan merebahkan kepala di pahanya.
Sudah bersama selama delapan belas tahun ditambah mereka pernah berbagi rahim sembilan bulan lamanya, membuat Reva bisa dengan mudah menebak apa yang terjadi pada saudara kembarnya tersebut. Dia menyeka keringat yang muncul di dahi Tristan. Cowok itu selalu bertingkah manja jika sedang demam.
"Gue ambilin obat, mau?"
Tristan menggeleng kecil. "Gak usah kemana-mana," lirihnya.
Reva menghela nafas panjang. "Kita pindah yuk, Tan. Pindah ke rumah Abi aja, di sini dingin, tar lo makin sakit." Tristan tetap menggelengkan kepala, enggan untuk beranjak.
Karena tidak tahu harus membujuk dengan cara apalagi, jadi Reva memilih diam saja, menunggui sampai Tristan mau bangkit dari posisinya. Sesekali dia melempar senyum ke arah santriwati yang sedang berkemas, tak lupa mengucapkan maaf sebab tak bisa membantu.
Reva hampir terlelap karena Tristan, beruntung suara langkah kaki di sampingnya membuat ia langsung tersadar. Suara-suara kini mulai terdengar lebih ramai, rupanya sholat magrib telah usai. Sebagian ada yang menetap di mushola, sebagian ada juga yang keluar untuk melakukan beberapa urusan. Seorang Muhammad Arga Septian berada di option kedua. Laki-laki itu kembali ke aula untuk mengambil barangnya yang tertinggal namun, melihat Tristan dan Reva membuatnya urung berniat langsung kembali ke mushola.
"Kenapa?" tanyanya pada Reva.
"Demam."
Asep mengedarkan pandangannya. "Kenapa di sini? Bawa ke rumah Abi aja, di sana ada obat juga."
"Dia-nya gak mau lepas dari aku."
Mendengkus kecil, Asep menyentuh lengan Tristan. Hanya dengan satu kali suruhan, cowok itu langsung mau beranjak. Reva dan Asep yang memapahnya menuju rumah milik Abi Maulana.
Tristan dibawa ke kamar Asep. Sementara si pemilik kamar kembali ke mushola---atas suruhan Reva---gadis itu sendiri berniat ke dapur untuk membuatkan teh hangat dan mengambilkan obat.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Adinda?" Reva tersenyum sambil menutup pintu kamar. "Kok di sini? Gak ke mushola?"
Adinda menunjukkan mukenanya. "Ini mau ke mushola. Tapi, Adinda mau ngasihin ini dulu." ia lalu menyodorkan nampan berisi teh hangat dan obat penurun demam.
"Buat Tristan?"
Adinda mengangguk. "Kalau gitu Adinda ke mushola duluan ya, Teh. Titip salam buat A Tristan, semoga cepet sembuh."
"Aamiin. Hatur nuhunnya, Din."
"Sami-sami, Teh."
Reva memperhatikan punggung Adinda yang menjauh setelah gadis itu mengucap salam. Setelah Adinda tak terlihat lagi, Reva pun kembali memasuki kamar milik Asep.
"Tan, bangun dulu!"
Tristan membuka matanya perlahan, menoleh pada Reva yang sudah duduk di sampingnya, membuka bungkus obat juga mengambilkan teh hangat.
"Gue gak mau."
Reva memicingkan matanya. "Yakin? Ini Adinda loh, yang bawain."
Tristan balas memicing, tak percaya begitu saja. "Ngibul lo."
"Dih! Orang gue beneran juga. Barusan Adinda ke sini, bawain ini buat lo. Ayo, minum. Gak ngehargain banget, sih."
"Lo seriusan gak, sih?" Tristan masih tak percaya rupanya.
"Astaghfirullah, Tristan. Gue udah tobat jadi tukang boong. Perlu gue bawa Adinda-nya ke sini biar lo percaya?"
Baru saja Tristan membuka mulut untuk kembali bicara namun, Reva sudah lebih dulu memasukkan pil penurun panas ke mulutnya. Alhasil cowok itu langsung gelagapan dan meminum teh hangat yang Reva pegang.
"Gila lo ya!"
Reva tersenyum puas. "Lagian manja banget. Dijamin langsung sembuh deh lo. Kan yang bawain perempuan impian," ledeknya.
Tak memberikan reaksi apapun, Tristan kembali berbaring dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Kok lo gitu, sih? Bereaksi kek, ini Adinda perhatian loh, sama lo. Dia juga titip salam tadi." Reva gregetan.
"Bilangin makasih."
"Tan, lo kenapa, sih? Jangan-jangan bener lagi dugaan gue, lo tuh cuma main-main."
"Bukan main-main, Rev. Sadar diri aja gue mah."
=BGN=
Kalau yang dari aku baca, kisah Ali dan Fatimah dulu kurang lebih gitu juga kan?
Istilah gaulnya, Ali itu insecure karena perempuan yang dia suka seorang Fatimah Az-Zahra, putri Baginda Rasulullah. Ali itu ngerasa dia bukan apa-apa, Fatimah pantas mendapatkan yang lebih darinya. Padahal, ternyata Fatimah juga jatuh cinta sama dia.
Kalau soal ending kisah mereka, entahlah bakal persis seperti Fatimah-Ali, atau tidak. Menurut kalian gimana?
Btw, jangan lupa buat vote dan komen yaaa.
Liana
2 mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Girl, Nyantri?
Teen FictionDIHARUSKAN FOLLOW SEBELUM BACA!!! =Proklisi Series Special Ramadhan 2021= 🕌🕌🕌 Ramadhan tahun ini sepertinya akan terasa berbeda bagi seorang Revalina Alea Gresson. Karena kenakalannya yang ampun-ampunan, daddy-nya berniat mengirimkan ia ke sebuah...