[15. Mencintai dalam diam]

1K 212 29
                                    

Seorang Revalina Alea Gresson memiliki alasan utama kenapa dia bisa menjadi bad girl, dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang Revalina Alea Gresson memiliki alasan utama kenapa dia bisa menjadi bad girl, dulu. Selain karena circle pertemanannya, Reva juga berusaha mencari pelarian dari dunianya yang mendadak sepi setelah kehilangan sang Mama. Bukan inginnya namun, keadaan yang memaksanya guna mengalihkan perhatian dari perasaan duka yang mendalam.

Reva tak pernah berniat menyusahkan Reynan, hanya saja ia tidak mau sang daddy terlalu sibuk dengan dunia kerjanya. Dengan kenakalan yang ia perbuat, Reva berharap laki-laki itu akan menyisihkan sedikit waktu, sekalipun hanya untuk menjemputnya di ruang BK.

Kematian memang akan menghampiri semua makhluk hidup di muka bumi, hanya saja kehilangan itu masihlah tetap menyakitkan. Reva sadar semua orang akan pergi namun, ia tetap sedih ketika muncul bagian-bagian kosong di hidupnya. Rasa rindu yang membelenggu untuk orang yang tak bisa lagi kita temui di dunia itu sakitnya bukan main. Apalagi, yang hilang dari hidup Reva adalah wanita kesayangannya, wanita yang bertaruh nyawa untuk melahirkannya ke dunia, belasan tahun lalu.

Reva tidak tahu harus dengan cara apa ia mengungkapkan maaf dan mencurahkan rasa sayang pada wanita yang telah tiada tersebut. Namun, Ummi Aisyah mengajarkannya untuk berdoa. Katanya, doa anak sholehah itu pasti diijabah sama Allah. Reva bukan anak sholehah namun, gadis itu sedang berada dalam proses memperbaiki diri. Bukan hanya untuk dirinya sendiri namun, juga untuk kedua orangtua dan saudara laki-lakinya.

Selesai solat dhuha, Reva keluar dari musala. Ia hendak kembali ke asrama namun, di perjalanan malah berpapasan dengan Teh Nabila. Perempuan berjilbab cream itu meminta tolong untuk diambilkan novel yang tertinggal di gazebo pinggir sungai. Katanya, Adinda juga pergi ke kebun untuk mengantar parang, jadi Reva tidak perlu takut menyusul.

"Teh Reva mau ke mana?" tanya Adinda ketika mereka tak sengaja berpapasan.

"Mau ke gazebo, ambil novelnya Teh Nabila."

"Ya udah, di sana ada A Asep. Adinda pulang duluan ke pesantren ya, Ummi udah nungguin bayemnya buat dimasak." Reva menganggukkan kepala. Lalu, dia dan Adinda kembali melangkah dengan arah yang berbeda.

Reva tiba di gazebo. Sepertinya apa yang diberitahukan Adinda tadi, ternyata memang ada Asep di sana. Laki-laki itu hanya seorang diri, sedang melantunkan ayat suci al-qur'an dengan merdunya. Reva akui, suara Asep memang lumayan bagus. Dimulai dari adzan sampai menjadi bilal, suara laki-laki itu benar-benar sopan masuk telinga.

Tak ingin mengganggu, Reva menunggu Asep selesai mengaji, barulah ia menghampiri untuk mengambil novel milik Teh Nabila. Tidak lupa mengucapkan salam yang dibalas Asep dengan wajah agak terkejut.

"Ngapain kamu teh di sini?"

Reva mengangkan novel di tangannya. "Disuruh Teh Nabila. Lo sendiri? Gak ngajar ngaji?"

"Nanti sore. Kenapa? Mau ikutan ngajar?"

Terkekeh kecil, Reva menyenderkan bahu di tiang penyangga gazebo. "Ngeledek lo?"

"Dih, sensi banget. Orang seriusan nanya."

"Bukan ngajar, tapi diajar. Udah lah, gue mau balik ke pesantren lagi. Takut jadi fitnah berduaan di sini sama lo." Reva sudah berbalik badan namun, perkataan Asep membuatnya menoleh sekilas pada cowok itu, sebelum melanjutkan langkah acuh.

"Biasain aku-kamu, Rev!"

=BGN=

Selepas membantu mencuci perabotan, Reva melangkah keluar dari dapur pesantren. Niatnya ingin ke kamar asrama sebentar untuk mengganti jilbab yang terkena basahan namun, sebuah tarikan pada gamisnya membuat gadis itu menghentikkan langkah sekaligus melotot kesal pada si pelaku.

"Ape sih lu? Gak bisa banget liat orang tenang."

Tristan mengambil lengan Reva. "Turunin! Aurat ini aurat, astaghfirullah. Itu kaos kaki lagi ke mana? Gue pinjemin kaos kaki mau? Gue ada banyak, bekas tapi, mau?" rewelnya sambil menarik turun lengan baju Reva yang gadis itu sing-singkan hingga siku agar tadi tak terkena air. Sedangkan, urusan kaos kaki Reva memang jarang mengenakan dengan alasan gerah.

"Gerah tau gak pake kaos kaki?"

"Gak bakal sebanding sama panasnya api neraka di akhirat nanti."

Reva mencibir. "Lo mah enak, cowok. Jadi gak perlu nutupin badan dari ujung rambut sampe ujung kaki kayak cewek."

"Iya, tapi kalau gue punya adek yang tingkahnya kek begini nih, tetep aja di akhirat entar gue kecipratan api nerakanya. Rela lo liat gue dipanggang padahal seharusnya gue lagi leha-leha di surga, cuman karena adeknya di dunia suka ngumbar-ngumbar aurat? Ikhlas begitu lu?" Reva rasanya ingin menabok mulut rewel Tristan namun, ia sadar kalau yang cowok itu katakan ada benarnya juga.

Iya sih, laki-laki itu tidak perlu ribet dalam urusan menutup aurat. Tidak seperti perempuan yang harus menjaga aurat dari ujung rambut sampai ujung kaki, kecuali wajah. Wajah pun tetap harus dijaga agar tak mengundang syahwat para lelaki. Namun, di balik itu laki-laki ikut menanggung atas dosa dari aurat yang dimiliki ibu, istri, anak, dan saudari perempuannya.

Maka dari itu, hendaklah kita sebagai seorang perempuan menjaga aurat. Karena yang bertanggungjawab akan hal itu bukanlah diri kita sendiri, melainkan ada banyak oknum yang ikut terlibat atas aurat yang kita pertontonkan pada orang banyak.

"Gue aja sayang Rev, sama lo. Masa lo gak sayang gue, sih?" tanya Tristan dengan suara dalam sarat akan makna.

Reva tertegun melihat saudara laki-lakinya tersebut. Ini untuk pertama kalinya Tristan mengungkapkan perasaan sayang padanya lewat kata. Apalagi dengan ekspresi wajah yang membuat Reva tak tega.

"Tumben banget lo. Ya udah deh iya, gue balik ke asrama nih, ngambil kaos kaki." setelah berkata demikian, Reva pun beranjak dari hadapan Tristan. Melanjutkan niatnya yang hendak pergi ke asrama untuk mengganti jilbab, juga mengambil kaos kaki.

Tidak lama setelah kepergian Reva, Tristan bertemu dengan Adinda dan Asma. Dua perempuan itu menundukkan kepala dengan senyuman kecil, dibalas Tristan hal yang sama. Lalu, cowok berkoko salem tersebut mengambil langkah lebar menuju arah berlawanan.

Adinda menatap punggung Tristan dengan perasaan tak karuan. Entah kenapa akhir-akhir ini jantungnya selalu berdebar tiap bertemu saudara laki-laki dari teman satu kamarnya tersebut. Adinda tahu ini apa namun, dia memilih untuk memendamnya saja.

Adinda tidak baper dengan celetukan Tristan beberapa waktu yang lalu. Dia menganggap itu sekadar candaan, Tristan juga tidak menunjukkan gelagat aneh padanya. Dia sama seperti yang lain, menyapa dan menghormati tanpa berlebihan. Apa yang Adinda rasakan, itu murni dari dalam hatinya.

"Din, kamu teh kenapa? Ngalamun wae." tegur Asma.

Adinda gelagapan, dengan cepat ia menggelengkan kepala.

Aku ingin mencintaimu sebagaimana Fatimah mencintai Ali. Dalam diam, dalam doa yang selalu kupanjatkan pada Tuhan.

=BGN=

Aku lebih tertarik sama cerita cintanya Tristan-Adinda sih, ada yang sama?🥺

Maaf ya, tadinya mau up semalem, tapi part-nya kependekkan.

Jadi hari ini double up, insyaallah:)

Semangat puasanya kalian🤗

Liana
2 mei 2021

Bad Girl, Nyantri?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang