Kantin Pertama

63 7 6
                                    

“Bersamanya, aku merasa nyaman dan tenang.”

Alan membereskan buku-bukunya yang berantakan di meja selepas Bu Arina—guru bahasa indonesia itu keluar dari kelasnya. Sedari tadi Alan hanya dia di bangkunya, tak mengobrol dengan Fauzi—teman sebangkunya yang belum Alan kenali lebih dekat.

Seharusnya Alan sudah biasa dari kesepian tanpa teman, namun hari ini berbeda ketika ia mengenal Ranya. Cewek itu sedari tadi menatap ke arahnya, meskipun jarak tenpat duduk mereja cukup jauh. Sudah lama tak mengarasakan diperhatikan oleh orang lain, membuat Alan aneh ketika Ranya menatapnya sejak tadi.

"Ke kantin bareng gue yuk, Lan," ajak Ranya, secara tiba-tiba datang ke meja Alan.

Mata Alan yang sedang fokus membersihkan kaca mata hanya bisa melirik Ranya sebentar, lalu berpaling lagi ke kaca mata miliknya.

"Kaca mata lo kotor banget pasti gara-gara anak Geng Angkasa, ya?" tanya Ranya, seraya duduk di bangku hadapan Alan.

"Tangan mereka banyak debu, pasti kotor tapi gue udah biasa kok," jawab Alan, seraya memakai kaca matanya dan bisa menatap Ranya dengan jelas.

Ranya tersenyum, lalu tangan cewek itu meraih sesuatu dari kantongnya. Ternyata itu adalah penyemprot pembersih kaca mata yang Ranya belikan untuk Alan.

"Nih buat bersihin, kalau cuman pakai kain gitu ga akan ilang kumannya," ucap Ranya.

Alan melirik Ranya kembali, cewek itu untuk kedua kalinya sudah baik ke padanya. Entah Alan yang sudah lama tak merasakan kebaikan dari teman atau memang Ranya adalah orang yang baik ke siapapun.

"Thanks, Nya," balas Alan, seraya menyemprotkan caira yang di dalam pembersih kaca mata itu.

"Btw lo ga mau ke kantin, Lan?" tanya Ranya.

"Mau, tapi nanti nunggu sepi, kalau ga gitu nanti gue bakal dipalak buat jajanin anak Geng Angkasa," jawab Alan, wajahnya sedikit murung.

Ranya mengehela nafas. "Ga usah takut, ada gue," balasnya.

Alan menatap Ranya dengan kebingungan untuk sekian kalinya, cewek itu seperti tak takut dengan apapun dan terus membela dirinya, padahal Ia dan Ranya baru kenal hari ini.

"Lo yakin? Lo ga usah ajak gue, gue bisa sendiri ke sana," elak Alan, lalu mengambil ponselnya dan berusaha untuk tak peduli dengan kehadiran Ranya.

"Lo mau sampe kapan di-bully terus sama mereka?" tanya Ranya, begitu tajam pas tepat sasaran.

"Semampunya gue."

"Sekarang lo udah ga bisa lagi, Lan. Mereka udah gede tapi sifatnya masih kayak gitu dan lo juga udah gede yang dimana lo ga selamanya bisa di-bully terus, Lan."

Alan mengernyit. "Maksud lo?"

"Ya ... Maksud gue, disini gue cuman mau bantu lo untuk lawan mereka, biar mereka sadar," jawab Ranya, raut wajahnya berharap jika Alan dapat mengerti.

"Lo ga takut sama mereka, Nya?" tanya Alan.

"Kenapa harus takut?"

Alan mennggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia bingung harus menjawab apa pertanyaan dari Ranya.

"Ga ada jawaban, kan?"

Alan menangguk.

"Ya udah yuk ke kantin bareng gue, lo ga perlu takut," ajak Ranya, lalu berdiri dari duduknya dan disusul dengan Alan.

Alan berjalan di tengah koridor dengan Ranya di sampingnya. Baru kali ini Alan mendapatkan seorang teman untuk makan di kantin atau untuk jalan berdampingan walau hanya di koridor. Selama ini, ternyata dirinya terlalu menyendiri, sampai Alan tak menyadari jika ada seseorang yang sangat baik seperti Ranya.

Just PhiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang