Datangnya Masalah

37 5 0
                                    

"Ketika kita ada masalah, percayalah jika kita tak sendiri, banyak yang kan membantu diri kita."

Bel istirahat berbunyi hampir seluruh murid keluar dari kelasnya entah menuju kantin, lapangan, atau taman belakang sekolah hanya untuk bersantai. Alan bangkit dari duduknya, kakinya menghampiri meja Ranya dan ketiga temannya. Alan diajak makan bersama Ranya ke kantin tadi pagi, alasannya adalah Ranya takut jika nantinya Alan dipukuli lagi oleh Geng Angkasa. Ah, padahal tadinya Alan ingin di kelas saja, tapi Ranya memaksa, jadi ia tetap menuruti kemauan cewek itu.

Wajah Alan masih lebam-lebam keunguan di sekitar pipinya, kini rasa sakit itu menyambar jika Alan banyak ngomong atau sering membuka mulutnya.

Ketika sampai di bangku Ranya dan ketiga temannya. Dinda-cewek itu langsung melihat Alan dengan kaget karena masih banyak luka lebam. Ia kira Alan tak separah ini ketika dihajar oleh Geng Angkasa. Begitupula dengan Raya dan Bunga-mereka pun kaget.

"Nyali lo kemaren emang gede, cuman kayaknya lo ga ada ilmu berantem, Lan," komentar Dinda, tepat ketika Alan duduk di sampingnya.

"Apalagi tangan Banar yang gede terus nonjok pipi lo yang lebih kecil dari dia, aduh ... Gue ngeri ngebayanginnya," sahut Raya, sambil bergidik ngeri.

"Kemaren gue udah kesel sama mereka, sampai ga mikir kalau ujungnya bakal kayak gini," balas Alan, nadanya kecil karena ia tak bisa ngomong dengan keras.

"Gue heran deh sama Ronald, otak sama hatinya kayaknya udah ilang. Alan ga salah apa-apa tapi difitnah," protes Bunga.

"Nanti biar gue yang ngomong sama mereka," ucap Ranya, tanpa rasa takut sedikitpun.

"Lo mau ngomong panjang lebar pun kayaknya ga bakal didenger, Nya. Udah ah, gua capek nanggepinnya, mending gue diem aja kayak waktu dulu," elak Alan, matanya melirik Ranya.

"Ga bisa, Lan. Lo kalau bener, ya lo harus perjuangin kebenaran itu. Biar gue bantu, lo ga bisa diem aja. Lagian cuman ngomong, kita ga usah pakai acara berantem lagi," balas Ranya, meyakinkan Alan.

"Definisi diem salah, nyerang salah," sahut Raya.

Alan meringkis, luka lebamnya mengeluarkan rasa sakit lagi karena ia terlalu banyak omong tadi. "Terserah lo deh, Nya, gue lagi ga bisa adu mulut sekarang."

Ranya mengangguk-angguk. Sekalipun Ronald bukan sepupunya pun pasti Ranya akan bantu Alan, syukurlah kali ini Ronald sepupunya sehingga Ranya bisa mudah saja mengancam atau adu mulut dengan Ronald. Cowok itu memang garang, tapi bisa sekali diam karena ucapan Ranya dan itu cukup meyakinkan Alan.

"Lo udah minum obat nyeri nya kan, Lan?" tanya Ranya.

Alan mengangguk. "Mama gue semalam beli."

"Apa perlu dikompres lagi pakai es, Nya? Gue rasa itu lukanya masih lebam banget," cetus Raya yang sedari tadi menatap ngeri ke arah luka di pipi Alan.

Ranya menggeleng. "Itu udah kempesan kok, kemarin lebih parah dari pada ini."

Raya mengangguk paham, lalu matanya melirk jarum jam dinding di kelas. "Jadi ke kantin?"

Bunga menepuk jidatnya. "Sampai lupa kalau kita mau ke kantin, ayo lah! Gue udah laper akut nih," ajaknya.

Raya langsung berdiri, disusul oleh Dinda dan Bunga. Lalu, Ranya menarik tangan Alan yang masih duduk di kursi seperti enggan ikut ke kantin bareng mereka.

"Ayo! Ga usah takut sama mereka, kantin milik semua murid di sekolah ini. Lagian, lo ga salah itu cuman ancaman mereka aja biar lo jauh dari gue," kuku Ranya, lalu menarik tangan Alah hingga berdiri.

Just PhiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang