Sesuatu

34 3 7
                                    

“Karena gue ga mau kehilangan lo sebelum waktu gue benar-benar habis sama lo.”

Melihat Ranya yang keluar dari ruang meeting secara terburu-buru membuat Alan bingung sekaligus khawatir. Lantas Alan berdiri dari duduknya, dan memegang kedua bahu Ranya untuk menenangkan cewek itu.

"Pelan-pelan, Nya. Ada apa?" tanya Alan, suaranya begitu khawatir.

"Kita ke mana gitu, yuk. Ada yang mau gue ceritain sama lo, Lan," jawab Ranya, seraya menarik tangan Alan keluar dari gedung.

Mau tak mau Alan harus ikut Ranya keluar dari gedung tersebut. "Pelan-pelan, Nya. Emang penting banget?"

Ranya mengangguk. "Penting banget! Kalau gue udah pakai banget itu artinya serius!" kukuhnya.

Alan menggelengkan kepalanya karena ia baru tahu jika Ranya bisa seribet ini saat panik. Bahkan Ranya membuat Alan harus buru-buru melajukan motornya.

"Bentar, Nya. Kita mau kemana? Lo buru-buru mau kemana?" tanya Alan.

"Kemana aja deh, yang penting kita bisa duduk berdua terus gue bisa cerita," balas Ranya, tangannya mengode Alan untuk segera menaiki motor.

"Ayo dong, Lan. Nunggu apa?" tanya Ranya, keheranan.

Alan diam sejenak, lalu memeluk Ranya ke dalam dekapannya. Lantas tangannya mengelus-elus punggung Ranya agar cewek itu lebih tenang.

"Tenangin diri lo, jangan panik, ya. Semua bisa diselesain, Nya, sepenting apapun kata lo," ucap Alan, matanya menatap Ranya.

"Sorry, cuman gue greget pengen ceritain sesuatu ke lo, Lan," balas Ranya.

"Tentang apa?"

"Naufal dan keanehan yang ada di otak gue sekarang."

"Dari awal gue udah ga yakin sama dia. Sekarang lo udah tenang?"

Ranya mengangguk.

Alan tersenyum, "Nah gitu dong, kalau gitu kan keliatan kalemnya. Gak kayak tadi panik sana-sini."

"Thank you, Lan."

"Apapun gue lakuin buat lo, Nya. Gue udah sering bilang, kan? Lo ga perlu ragu lagi."

Ranya tersenyum, lalu menaiki motor Alan. Lantas motor itu melaju cukup kencang ke arah yang Ranya tak tahu arahnya, namun Ranya yakin Alan tahu tempat-tempat terbaik untuknya.

🌠🌠🌠

Motor Alan berhenti di sebuah lapangan luas yang ketika jalan beberapa langkah akan sampai pada suatu rumah pohon yang sangat indah.

Tangan Alan mengenggam jari-jari tangan Ranya menuju pohon tersebut tanpa sepatah kata. Alan juga membantu Ranya menaiki tangga untuk sampai ke atas rumah pohon tersebut, sedikit demi sedikit akhirnya mereka sampai di dalamnya.

"Lo ajak gue ke sini? Ga takut dimarahin sama yang punya rumah pohon ini?" tanya Ranya, seraya melihat sekeliling rumah pohon.

"Rumah pohon ini ga ada yang punya, Nya. Liat aja sekelilingnya cuman lapangan, kan?" balas Alan, lantas terkekeh.

Ranya manggut-manggut. "Sering kesini?"

"Waktu kecil, ngabisin waktu sama kakek buat foto-foto. Dulu, kalau sore di sini bagus," jawab Alan.

"Sorry kalau gue jadi ingetin lo tentang kamera dan kakek lo, Lan."

Just PhiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang