Ada Yang Aneh

50 4 5
                                    

“Semua perilaku mu aneh, kamu sembunyiin apa dari aku?”

Pukul 10 pagi Alan sudah siap dengan kaos hitam yang dibaluti outer kemeja miliknya. Sebelum benar-benar pergi, Alan berkaca sebentar di depan cermin seraya merapihkan rambutnya. Lalu, ia mengambil kunci motor dan keluar dari kamarnya.

Hari ini Alan akan menjemput Ranya dan mengantar Ranya ke studio sesuai janjinya kemarin. Jam setengah sebelas Ranya sudah selesai eskul kesenian di sekolah, berhubung jarak rumah Alan ke sekolah sedikit jauh, jadi Alan harus cepat-cepat ke sekolah agar tidak telat.

"Mau kemana kamu, Lan? Sudah rapih aja jam segini." Itu suara Wati yang tepat sedang menyapu rumah.

"Jemput Ranya, aku sudah janji sama dia," balas Alan.

Wati tersenyum, "Mama senang kamu punya Ranya, Lan. Dari muka kamu aja udah berubah kalau kamu lebih ceria."

"Iya, Ma, mungkin ini juga jawaban dari doa-doa Mama, kan?"

Wati mengangguk. "Foto-foto baru yang dipajang di meja itu bagus, pakai kamera, ya?"

Alan melirik foto-foto saat ia dan teman-temannya di warung ketoprak kemarin. "Iya, itu pakai kamera punya Dinda."

"Maaf ya kalau Mama sama Papa belum bisa beliin kamu kamera baru, kamu pasti kangen ya megang kamera lagi?" balas Wati.

Alan menggeleng. "Ma ... Alan udah ikhlas kok tentang kamera itu, Mama ga usah pikirin lagi, ya."

"Mama cuman kasihan sama kamu, Lan. Kamu jadi ga bisa explore apa yang kamu suka," balas Wati.

Alan memegang tangan Wati, meyakini Mamanya. "Kan ada HP selama ini foto-foto Alan masih bisa pakai HP, kan?"

Akhirnya Wati mengangguk, meski matanya masih sedu. Lantas Alan memeluk Wati dan bayangan ketika kameranya mengalir di sungai seketika teringat kembali. Namun, Alan harus menerima itu agar Wati pun bisa menerimanya.

"Foto yang ini bagus, Lan. Papa jadiin lukisan bisa ga, ya?" tanya Arya, yang datang secara tiba-tiba membuat Alan melepaskan pelukannya dengan Wati.

"Pelukis hebat masa ga bisa, sih? Alan tantang Papa deh lukisin itu, berani?" tanya Alan, diselingi kekehannya.

Arya menatap Alan. "Siapa takut?"

"Oke! Nanti kalau Alan sudah pulang, lukisannya sudah harus jadi! Gimana?" balas Alan.

Arya mengerutkan keningnya sembari menatap foto Alan dengan keempat temannya. "Bisa sih, tapi tergantung kamu pulangnya kapan?"

"Sore, aku ga mungkin bawa Ranya pulang malem-malem banget, kan?" balas Alan.

Arya kembali melirik Alan. "Ranya? Jalan lagi sama dia? Ah, pasti kamu nyimpen hati sama Ranya, ya?"

"Apaan sih, Pa? Cuman anter Ranya ke studionya doang kok," elak Alan.

"Dari awal Ranya dateng ke rumah, kamu tuh udah keliatan kalau kamu ada rasa lebih sama dia, Lan," kukuh Arya.

"Papa ga jelas lama-lama."

Arya menaikkan kedua alisnya. "Papa pernah muda, cara Papa mencintai Mama diam-diam itu sama kayak cara kamu mencintai Ranya diam-diam, Lan."

"Aku bukan Papa dan Ranya bukan Mama," elak Alan.

"Tapi pasti pengen kan berakhirnya kayak Papa sama Mama?" tanya Arya lalu terkekeh.

"Apaan sih, Papa! Anaknya diejek terus," dengus Alan.

"Cinta itu diakui, Lan. Semakin dicegah, semakin berkembang rasanya," balas Arya.

"Pindah profesi jadi dosen cinta, ya?" tanya Alan, lalu tertawa.

Just PhiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang