Raga dan Jiwa

27 2 0
                                    

“Jika di hatimu ada dia, lalu mengapa di sampingmu harus ada aku?”

Jam kosong saat pelajaran terakhir adalah kesukaan hampir seluruh murid, karena mereka bisa menghabiskan waktu itu dengan santai dan berleha-leha. Tak hanya itu, mengobrol dan bermain juga menjadi aktivitas saat jam kosong di kelas.

Sama halnya dengan Alan dan keempat temannya—Ranya, Bunga, Raya dan Dinda. Mereka sudah mengobrol 15 menit di bangku jajaran paling belakang.

Raya melirik Bunga yang sedang memainkan ponselnya, lantas matanya membulat karena tahu Bunga sedang chat-an dengan Mas Putra lewat WhatsApp.

"Sejak kapan lo punya nomor Mas Putra, Nga? Bukannya lo chat nya di IG?" tanya Raya.

Bunga tersenyum, "Gue tuh udah dapet lampu hijau dong!"

Mendengar itu, Ranya ikut menoleh. "Gimana cara dapet orang serius kayak manajer gue, Nga?"

"Itu cuman karena Mas Putra jarang buka IG aja, aslinya Mas Putra juga ga mau ngasih nomor ke Bunga," cetus Alan, lantas terkekeh.

Plak! Bunga memukul cukup keras paha Alan. "Enak aja! Mas Putra ngasih ini ikhlas, kok!" balasnya.

"Lo tahu, Lan?" tanya Dinda.

"Gue lihat sendiri kemarin waktu di studio Ranya," jawab Alan.

Dinda menggelengkan kepalanya ke arah Bunga. "Parah lo, Nga. Kok ga cerita-cerita, sih?"

Bunga tersenyum tak bersalah, "Gue niatnya mau suprise kalian, kan lucu kalau tiba-tiba gue udah jadian sama Mas Putra."

"Ngimpi!" ejek Raya.

"Gue sumpahin lo putus sama doi lo, Ray!" balas Bunga.

"Asem!"

Alan tertawa melihat ketiga temannya yang saling canda tawa, namun ketika matanya melirik Ranya yang begitu fokus dengan ponselnya, lantas Alan menjadi penasaran apa yang dilakukan oleh Ranya.

"Fokus banget, Nya? Lagi ngapain, sih?" tanya Alan.

Sontak, yang lain juga ikut menoleh ke arah Ranya.

"Bucin sama Naufal, nih?" cetus Dinda.

Perasaan Alan mulai tak enak, karena Ranya tak kunjung menjawab. Akhirnya, Alan melihat sendiri ke arah ponsel Ranya.

"Pantes, kalau Naufal alasannya pasti fokus banget," ucap Alan, lalu manggut-manggut meski hatinya sakit.

"Tumben banget Naufal chat gue, Lan. Katanya, kuliahnya lagi ga terlalu sibuk, jadi bisa banyakin waktu buat gue," jelas Ranya.

Alan mengangkat kedua alisnya. "Buat manfaatin lo, mungkin?" 

"Lan, gue ga mau, ya, kalau lo terlalu over suudzon sama dia," balas Ranya.

"Nya, jawaban pasti aja belum ada. Dia ngapain aja selama ke ruangan Pak Ridho?" tanya Alan.

Ranya menggeleng. "Gue ga mungkin jauhin dia tanpa alasan kan, Lan? Sambil cari, gue masih bisa kok temenan sama dia."

"Kalau dia yang bikin lo bahagia, terus disini gue yang harus cari-cari kebenaran Naufal, Nya?" tanya Alan.

"Gue minta bantuan lo, Lan. Tapi, please jangan suruh gue untuk memilih, gue nyaman sama Naufal."

Alan diam seribu bahasa ketika Ranya mengucapkan itu. Kata 'nyaman' yang membuat Alan semakin merasa jika Ranya tak akan pernah bisa dimiliki olehnya.

Kedekatan sama Naufal begitu melekat untuk Ranya, bahkan ketika Naufal terlihat mencurigakan. Alan terdiam sejenak, lantas untuk apa lagi ada dirinya disini?

Just PhiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang