Bagian 8

591 49 11
                                    

Aku terbangun dengan tubuh terasa lemas, mataku melirik ke arah jam yang berada di atas nakas, jam menunjukan pukul 2 malam.

Setelah kejadian siang tadi aku langsung masuk ke kamar dan menguncinya, tidak mempedulikan Namjoon yang terhenyak atas apa yang terjadi. Tubuhku meringkuk di atas kasur, getaran ketakutan dan shock masih begitu kentara ku rasakan. Tanpa mengganti pakaian -yang sebagian atas robek- aku lebih memilih memaksa diriku tidur, berharap dengan melakukan ini perasaan takut dan shock itu menghilang. Tangan kananku terasa kebas bukan main, sepertinya sejak tadi aku tertidur dengan tangan mengepal,  efek dari ketakutan yang aku rasakan.

Aku mengambil handphone dan mengecek beberapa pesan dari teman-temanku. Satu pesan menarik perhatian, ibu mertua ternyata memintaku untuk datang ke rumah untuk membuat kue bersama-sama. Kunjunganku ke rumah orang tua Namjoon bisa di hitung beberapa kali setelah kami menikah. Hahaha dasar menantu kurang ajar, pasti pikir mereka begitu.

Aku memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dengan air hangat. Aku membutuhkan sesuatu untuk merilekskan tubuh dan pikiran ku untuk sementara. Rasa hangat langsung melingkupi seluruh tubuhku, aku mengelus puncak kepala dan memeluk diriku sendiri.

"Nggak papa, semua akan baik-baik aja. Kamu udah melakukan yang terbaik sejauh ini, kamu adalah wanita yang kuat." Kata itu aku ucap berkali-kali pada diriku sendiri, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Kebiasaan aneh bukan? Itu yang kulakukan ketika semua hal terasa melelahkan. Memeluk diri sendiri dan mengucapkan bahwa semua akan baik-baik saja, sebagai penghiburan semata. Mungkin Namjoon tidak berniat melakukan itu padaku, mungkin saja dia kelelahan atau memiliki masalah. Bukan sepenuhnya salahnya, aku juga turut andil dalam hal ini, jika saja kemarin aku berkata membutuhkan waktu dan ruang sendiri mungkin kejadiannya tidak akan seperti kemarin.

Namjoon sampai mengira aku menginap di rumah Yoongi, apa itu artinya dia sempat melihatku yang di antar kan pulang olehnya? Jika ya, dengan tidak ada kabarnya dari ku dan apa yang dilihatnya kemarin siang hal yang wajar jika Namjoon sampai semarah itu. Tapi bukan berarti kemarahannya membenarkan apa yang dia lakukan kemarin. Merobek dan melukai harga diriku, rasanya seperti sebuah penghinaan.

Aku tidak ingin memikirkan hal buruk tentangnya, karena kami akan hidup bersama entah sampai kapan sebagai teman. Tapi tidak ingin juga memikirkan hal-hal yang terlalu positif, aku tidak ingin hidup berdasarkan harapan kosong yang diciptakan oleh diri sendiri, seperti kemungkinan ke depannya Namjoon akan menjadi pria normal dan kami memiliki ending hidup yang bahagia, karena kehidupan adalah ketidakpastian.

Aku membuka pintu kamar secara pelan, entah Namjoon berada disini atau tidak yang penting tidak menimbulkan suara lebih dulu.

Langkahku terhenti ketika melihat sosok Namjoon yang berbaring di atas sofa. Sofa yang terlalu kecil tidak dapat menampung seluruh tubuhnya yang  besar. Wajah Namjoon terlihat sedikit pucat, dia kelelahan. Tidur dengan posisi seperti itu pasti akan membuat tubuhnya sakit ketika besok dia terbangun.

Aku mematikan ac ketika dia terlihat menggigil kedinginan, aku tidak berniat untuk membangunkannya atau menyuruhnya pindah ke kamar. Cukup, aku tidak akan terlalu mempedulikannya. Sebagai gantinya, aku membawa selimut dari kamar dan menyelimutinya. Itu saja sudah cukup untuknya.

***

"Loh Yura kamu belum bersiap?" Pertanyaan Ibu muncul ketika melihatku  masih menggunakan piyama tidur.

Aku menatap Ibu dengan pandangan bertanya dan bingung.
"Memangnya kita mau pergi kemana ya bu? Yura baru aja siap-siap mau pergi ke rumah Ibu sama Ayah." Aku menyingkir dari pintu, memberi ruang untuk ibu memasuki apartemen.

My Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang