Bagian 18

472 46 16
                                    

Aku tidak tau apa yang dipikirkan Namjoon saat ini setelah aku meminta cerai darinya. Aku merasa enggan hanya sekedar melihat wajahnya, hal yang aku takutkan benar-benar terjadi, perlahan rasa benci dan muak itu muncul dengan sendirinya.

Aku sengaja menukar tempat duduk ku dengan penumpang yang lain agar tidak duduk bersebelahan dengannya. 

"Apa kamu harus pindah tempat duduk juga?" Namjoon menahan tanganku saat melewatinya, membuatku mau tak mau melihat ke arahnya.

"Lepas."

"Yur.."

"Mohon maaf pak bu mohon untuk duduk di tempatnya masing-masing, pesawat sebentar lagi akan lepas landas." Tegur salah satu pramugari, Namjoon menghela nafas dan melepaskan pegangannya dari tanganku.

Aku tersenyum ke arah pramugari sebagai tanda ucapan terima kasih ku secara tidak langsung kemudian berlalu dari hadapan Namjoon. Rasa lelah dan kantuk membuatku tertidur selama perjalanan, setidaknya dengan cara ini pikiranku dapat beristirahat sejenak.

Begitu sampai di bandara Halim Jakarta Timur, aku terburu-buru turun dari pesawat berusaha sebisa mungkin menjauh dari jangkauan atau penglihatan Namjoon termasuk untuk  pulang ke rumah, pulang ke rumah mama papa pun rasanya tidak mungkin aku tidak siap untuk menceritakan semua yang terjadi, yang ku perlukan saat ini hanya lah ruang untuk diri ku sendiri.

Aku menunggu koper ku muncul dari pengambilan barang. perasaanku terasa campur aduk, rasa sesak terus terasa bahkan desakan air mata rasanya sulit untuk ku tahan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ke depannya jika mendapati diri sendiri mengandung, membayangkan Namjoon mengambil paksa anak yang kulahirkan nanti dan kemudian membuang ku begitu saja. Bukankah seperti itu fungsi wadah yang sebenarnya jika di pakai hanya untuk keturunan saja?

Aku meraih koper begitu melihatnya, menarik nya dan berjalan dengan tergesa, jantungku terasa berdegup kencang takut jika bertemu dengan sosok nya tanpa sengaja.

"Yura, apa kamu benar-benar menghindari ku?" Koperku tertahan begitu suara baritone yang ku hindari terdengar, wajah Namjoon tampak lelah dan kesal secara bersamaan.

"Apa yang kamu mau?"

"Harusnya aku yang nanya kaya gitu ke kamu."

"Bukannya udah jelas? Aku mau cerai Namjoon! Cerai." Tegas ku.

"Katakan apa alasannya, kenapa aku harus menceraikan mu?"

"Kamu bisa tanyakan alasannya nanti ke pengacaraku." Aku menarik paksa koper ku darinya. Namjoon terlihat gusar, dia mengacak-ngacak rambut membuatnya berantakan.

"Aku tidak akan menceraikan mu. Tidak akan pernah! Kamu dengar itu? Bahkan aku nggak akan nanda tangani permohonan perceraian dari kamu."

"Egois."

"Justru kamu yang egois! Apa alasan kamu tiba-tiba meminta perceraian? Bukannya keadaan kita udah baik-baik saja?"

"Harusnya sejak awal pernikahan ini nggak terjadi Joon. Kamu.." Aku berjalan mendekatinya, menunjuk-nunjuk dada bidang yang beberapa hari lalu menjadi tempat bersandar ku ternyaman.

"Kamu selalu bertindak semau kamu, kamu selalu mikirin diri kamu sendiri. Kamu nggak pernah mikirin gimana perasaan istri kamu sendiri, apa sela-selama ini aku hanya patung di rumahmu?" Air mata mulai turun tanpa bisa ku cegah, aku melanjutkan ucapan ku sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk berbicara.

"Apa aku harus tau dari Ayah tentang rencana mu keluar negeri untuk beberapa tahun? Apa kamu nggak akan bilang apapun ke aku? Atau justru semua sikap manis kamu cuman tebusan rasa bersalah kamu karena berencana ninggalin aku? Begitu joonie?"

My Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang