Untuk pertama kalinya Namjoon tidak menyukai aroma khas tanah yang basah setelah hujan, biasanya ia rela berjam-jam berdiri di luar hanya untuk merasakan aroma khas itu, namun kini aroma itu terasa memuakkan, membuat seluruh tubuhnya terasa kaku belum lagi kedua netranya yang menangkap tanah kemerahan menjadi sebuah gundukkan.
Hari ini hari berduka, hari terburuk sepanjang hidupnya. Jika Namjoon adalah seorang presiden ia ingin sekali memberi penghargaan atau penghormatan besar untuk Revan atas jasa yang telah dilakukannya.
Namjoon berjalan mendekati pengistirahatan terakhir Revan. Hampir semua orang telah meninggalkan makam, menyisakan keluarga dan orang terdekat saja. Sebuah tamparan mendarat di pipi Namjoon ketika kedua orang tua Revan menangkap kehadirannya.
"Gara-gara kamu! Anak sayaa!" Tangan Ibu Revan menunjuk wajah Namjoon, Ayah Revan menahan bahu istrinya agar ia tidak melakukan lebih dari sekedar tamparan saja.
"Saya minta maaf." Namjoon membungkukkan tubuhnya ke arah mereka.
"Apa permintaan maaf kamu bisa bikin anak saya hidup lagi?! Mau kamu semenyesal apapun, mau kamu meminta maaf sampai berlutut itu nggak akan bikin anak saya hidup!" Ibu Revan menjerit dengan tangisnya yang meraung.
Isak tangis mulai terdengar di sekeliling Namjoon membuatnya merasa semakin bersalah.
"Bu sudah, ini pilihan yang di ambil Revan. Ini kemauan Revan sendiri." Ujar Ayah Revan, tangannya menarik sang istri ke dalam pelukannya.
"Saya tau permintaan maaf tidak akan bisa menebus seluruh jasa yang Revan lakukan, untuk itu saya akan memberikan kompens-"
"Tutup mulutmu! Saya tau kamu orang berada! Tapi nggak semua hal bisa kamu selesaikan dengan uang! Mau kamu memberi kami uang sebanyak apapun itu nggak akan bikin kakak saya kembali!" Potong seorang perempuan, dia mendorong tubuh Namjoon agar menjauh dari area pemakaman.
Ayah Revan menahan tangan sang putri, menatap Namjoon dengan permohonan maaf.
"Maaf nak Namjoon. Setelah seluruh keluarga saya tenang, mari kita berbincang lagi."Namjoon mengangguk, dia membungkukkan badannya lagi kemudian berjalan menjauhi area pemakaman.
Apa yang di ucapkan adik Revan tidaklah salah. Tidak semua hal bisa di selesaikan dengan uang, uang sebanyak apapun tidak akan bisa menutup rasa kehilangan yang di rasakan mereka namun Namjoon hanya ingin memberikan kompensasi atau melakukan apa saja agar rasa bersalahnya sedikit berkurang. Jika saja dia bisa memutar balikkan waktu, dia akan membuat rencana sematang mungkin sehingga tidak akan banyak orang yang terluka hingga tewas.
Namjoon masuk ke dalam mobilnya, memerintahkan supir untuk segera membawanya ke rumah sakit. Namjoon merasa tertekan, rasa sesak membuatnya tidak bisa bernafas. Banyak hal yang harus dilakukannya, pikirannya terasa penuh, ia nyaris gila dengan semua hal yang terjadi padanya.
***
"Bagaimana keadaan Yoongi? Apa keluarganya sudah kemari?" Tanya Namjoon begitu memasuki ruang perawatan Yoongi.
Hal yang selanjutnya Namjoon tidak sukai sekarang adalah bau khas rumah sakit. Bagi sebagian orang rumah sakit adalah tempat keajaiban dan keberkahan sering terjadi, namun rumah sakit juga bisa menjadi tempat antara hidup dan mati. Dokter bukan Tuhan, mereka hanya seorang perantara yang berusaha menyembuhkan. Sembuh atau tidaknya, selamat atau tidaknya semua kembali bagaimana kehendak sang pencipta.
"Belum, mungkin mereka akan sampai tengah malam." Jawab Jhope.
Yoongi seorang yatim piatu, ia menolak pertolongan keluarga dari ibu atau ayahnya dan memilih hidup sendirian di kota Jakarta. Seluruh sanak keluarganya berada di kota lain, untuk itu mereka memerlukan waktu untuk sampai di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband
Fanfiction"Saya ga peduli! Saya tau kamu gay kan? jadi saya ga akan peduliin apa yang kamu lakuin meskipun kita satu kamar." Ucapku acuh. Tanganku sibuk meloloskan gaun pernikahan dari tubuhku, memperlihatkan bahu dan punggung mulus di depannya yang baru saj...