25). Happy? Of Course!

106 21 43
                                    

I heard that all the rules in this world
exist because they are meant to be broken
-Y.Z.

*****

Padahal Yoga berusaha berpikir jernih, tetapi mengapa Yoana bertindak agresif begini? Ditambah, keduanya tengah berada di area sepi persis terakhir kali mereka menjadi saksi bisu antara Tristan dengan Clara.

Lantas, apakah Yoana juga akan melakukan hal yang sama dengan Tristan?

Merasa putus asa dan clueless, Yoga memutuskan untuk membuang pandangan ke samping atau arah mana saja selain netra milik Yoana. Nyatanya, ini menjadi keputusan yang tepat karena sedikit banyak bisa menenangkan gemuruh aneh dalam dirinya.

"Lo kenapa?" Yoana malah bertanya polos, tanpa mengerti alasan yang sesungguhnya terjadi. "Dugaan gue bener. Lo lagi nggak sehat kan, Yoga?"

Yang benar, pikiran gue yang nggak sehat. "Ng-nggak, kok."

"Kayaknya lo harus ke dokter, Ga. Muka lo merah banget trus lo juga keringat dingin. Lo ngerasa pusing, nggak? Kalo iya, bisa jadi lo punya gejala Vertigo."

"Hah?"

"Iya, Vertigo. Yang gue tau tuh gejalanya mirip-mirip kayak lo sekarang ini. Pandangan lo pasti lagi susah fokus, kan? Respons lo juga nggak segesit biasanya. Terus... lo agak demam kayaknya."

Lantas begitu saja, Yoana mengangkat sebelah tangan untuk mengecek pada bagian kening Yoga kemudian mengecek suhu tubuhnya sendiri dengan punggung tangannya yang lain.

Yoga bersyukur apa yang ada dalam pikirannya tidak diciduk oleh Yoana. Oleh karenanya, dia menghela napas gusar dan menatap Yoana jengah sebagai gantinya. "Gue nggak sakit."

"Iya juga, ya. Lo nggak panas," kata Yoana setelah menurunkan tangannya. "Gue kira lo sakit."

"Trus... kenapa kita ke sini?"

"Oh." Yoana menunjukkan gestur seakan baru sadar diri dan dia spontan mundur selangkah. Jarak keduanya kini melebar. "Seperti gue bilang tadi, keberhasilan hubungan kita tuh harus dilandasi oleh usaha."

Yoana menunjukkan tas yang sedari tadi bergelantungan di salah satu lipatan lengannya pada Yoga. Senyumannya melebar optimal hingga sepasang matanya melengkung. "Tada! Gue masak menu spesial buat lo. Lo pasti suka."

"Jadi, bukti yang lo maksud itu... ini, ya?" Yoga bertanya polos, matanya membulat selagi menunjuk tas bekal yang kini telah dibuka isinya oleh Yoana.

Menu yang dipersiapkan benar-benar seuwu motif tas bekal karena Yoana mengkreasikannya dengan model yang lucu-lucu; mulai dari membentuk rambut karakter dengan potongan telur dadar, mata dan mulut yang dibentuk dari rumput laut, hingga menggunakan irisan wortel untuk membentuk bagian hidung. Sayur berkuah dipisahkan pada sekat yang lain sedangkan ada beberapa potong nugget pada sekat di atasnya untuk melengkapi bekal yang mirip bento itu.

Yoana mengangguk bersemangat, membuat Yoga seketika teringat akan masakan rumah yang dikreasikan bundanya saat masih berstatus siswa.

Lebih tepatnya, masa-masa rutinnya membawa bekal adalah saat dia duduk di bangku SMP.

Jika sekarang Yoga bukannya diasingkan, hanya saja jarak dari rumah ke kampusnya terlampau jauh meski masih bisa dicapai jika menggunakan jasa angkutan bus.

Namanya juga cowok, dia lebih suka hidup mandiri di indekos yang letaknya strategis dari kampus daripada harus bolak-balik dengan bus.

Maka dari itu, melihat bekal yang dibuatkan oleh Yoana entah mengapa memberikan semacam sensasi gereget yang tidak bisa Yoga jelaskan secara gamblang.

Cross Over You • PHILIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang