Satu tahun.
Sejujurnya, Aryan Adhiyastha tak tahu harus mengkategorikan satu tahun -yang ia habiskan dalam pelarian- ke dalam waktu yang sebentar atau lama.
Yang ia tahu adalah satu tahun itu ternyata cukup untuk merubah banyak hal. Salah satunya jalanan familiar yang ia lewati hingga dirinya tiba di tempat ia memijakkan kaki kini.
Entah itu tempat pangkas rambut di ujung jalan yang kini sepenuhnya tutup tak terawat,
Toko kelontong yang kini menjadi dua tingkat,
Atau panti asuhan yang menjadi tempat tujuannya, yang kini sudah berganti cat.
Bahkan Bunda yang tengah sibuk menyiram bunga di halaman dan menyambut penuh suka cita kedatangan tak terduganya, pun kini terlihat berubah.
Juga...
"Yan."
Teman yang menemaninya datang ke tempat ini.
Berubah.
Bukan lagi dia, tapi orang lain.
Satu tahun yang ia lewati di tempat lain, membuatnya alpa dengan perubahan yang terjadi di tempat penting ini.
Namun selama satu tahun itu juga seolah tak cukup untuk membuatnya sadar tentang perubahan yang terjadi dalam hidupnya sendiri.
Tentang mereka yang datang.
Salah satunya perempuan di sampingnya ini;
Nara Pradipa.
"Hai, Yan. Apa kabar?"
Dan tentang si satu-satunya yang ia rasa tak pernah benar-benar pergi;
Dia, Hana Danita.
Aryan tak pernah mengira bahwa mereka akan dipertemukan secepat ini dalam kali pertamanya kembali ke kota ini, lebih tepatnya ke panti asuhan ini.
Kiranya, Tuhan tidak akan sebercanda ini untuk membuat satu tahun pelariannya menjadi sia-sia dengan langsung mempertemukan mereka di masa awal kepulangannya seperti sekarang.
Mempertemukan dia dan Hana Danita;
Seseorang yang menjadi alasannya melarikan diri.
Apa kabar? tanyanya.
Di tengah keterkejutannya akan pertemuan tak terduga mereka hari ini, Aryan meneguk ludah. Merasa bimbang untuk menjawab.
Dulu -bahkan beberapa menit lalu saat Bunda mengajukan pertanyaan yang sama- Aryan bisa dengan mudahnya berbohong, seperti sudah diprogram untuk menjawab pertanyaan satu itu dengan kalimat bahwa dirinya baik-baik saja.
Tapi sekarang, saat perempuan berkulit pucat itu yang bertanya, kenapa rasanya begitu sulit untuk berbohong seperti biasanya?
Detik ini, rasanya Aryan ingin menjadi jujur.
Meski hanya pada dirinya sendiri, sesuatu yang dulu bahkan tak bisa ia lakukan.
Bahwa....
Ga baik, Na. Sejak empat tahun lalu kamu ninggalin aku... Aku ga pernah baik-baik aja.
Namun jawaban itu tak mampu ia suarakan. Hanya menggema dalam hati dan tersampaikan lewat sepasang matanya yang menatap Hana dengan sarat makna.
Dan dia tahu Hana Danita-nya mengerti.
Tentang sakit yang masih dia rasa hingga kini.
Tentang rindu yang menyiksa tanpa hati.
Tentang asa yang tahu diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Spring & Fall
RomanceWhy is it so easy to kill our happiness but so hard to kill our sadness?