Senja baru saja menyapa saat Damian akhirnya menghentikan langkah. Mengambil jeda dari langkah yang seharian tadi ia ambil tanpa tujuan.
Satu lagi hari berat yang ia lewati tanpa perubahan.
Usahanya untuk mencari pekerjaan, belum juga menemukan hasil.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pun dia harus pulang ke kontrakan satu petaknya dengan hati yang kecewa. Dengan asa yang harus bertahan lebih lama dan tidur ditemani gelisah.
Menghela napas berat tanpa suara, sepasang matanya tanpa sengaja teralih pada sebuah toko bunga di seberang jalan.
Dan begitu saja, kecewanya tadi akan segala penolakan yang hari ini dia terima, terlupakan.
Ada satu kalimat yang entah dia baca atau dengar di mana ketika kecewa yang ia rasakan beberapa saat lalu tergantikan oleh sebuah kenangan akan sosok yang saat ini amat dia benci;
Bunga menjadi penyampai pesan saat segala rasa sukar diungkapkan.
Termenung, Damian menimbang di tempatnya berdiri.
Hingga kemudian akhirnya dia kembali melangkah, menyebrangi jalanan gersang. Menahan diri untuk tak melirik jajaran gerobak penjual makanan yang saat awal akan ia datangi salah satunya.
Kedatangannya di toko bunga itu disambut oleh lirikan seorang bocah lelaki berwajah tampan berseragam putih-biru yang tengah membereskan setumpuk buku di meja kasir sebelum memasukkannya ke dalam ransel hitam.
"KAK NA, ADA YANG BELI!" teriaknya dengan suara berat tanda pubertas awal.
Di tempatnya, Damian mengedarkan pandangan hingga ada seorang perempuan berambut panjang dengan senyum ramah yang menawan datang menghampirinya.
"Maaf, ada yang bisa dibantu?"
Namun pertanyaan itu tak langsung mendapat respon. Tatapan Damian terpatri pada sekumpulan bunga yang dulu sering ia lihat di dalam rumah.
"Mau beli bunga apa?"
Dan kali ini Damian menoleh meski perlahan. "Bunga buat minta maaf," jawabnya lirih.
Malam ini Damian Ardana hanya memiliki satu lembar uang terakhir di saku celananya. Dan dia justru merelakan lembar terakhir itu untuk setangkai tulip -bunga permintaan maaf, juga bunga yang Mama favoritkan- yang kini ia genggam di jemari.
Malam ini Damian Ardana merelakan uang makan malamnya saat dia bahkan tak tahu apakah bisa mengisi perutnya di esok hari.
Malam ini Damian Ardana berjalan sepanjang jalan menuju rumah dengan kaki yang mungkin akan membengkak besok pagi.
Tapi semua itu rasanya bukan masalah.
Karena bunga ini untuk Mama.
Mama, sosok yang sekarang ini amat ia benci, nyatanya adalah sosok yang ia ingat sebelum memutuskan untuk masuk ke toko bunga tadi.
Iya, Damian Ardana saat ini amat membenci Mama.
Karena Mama sama dengan semua orang.
Yang membiarkannya jatuh sendirian.
Tapi sedalam apapun marah dan benci yang ia rasakan, nyatanya rasa bersalah itu jauh lebih besar.
Rasa bersalah karena sudah tega mengecewakan.
Rasa bersalah karena sudah berani membunuh kepercayaan.
Damian mendongak menatap rumah tempatnya tumbuh selama ini. Teringat kapan dan bagaimana ia pergi dari sini dengan teriakan adiknya yang terdengar amat memilukan.
Perasaannya bercampur, tercipta menjadi sesuatu yang rasanya menggumpal di tenggorokan hingga amat sulit ia telan. Membuatnya mengepalkan tinju pada tangkai tulip di tangan.
Berlian.
Sejujurnya Damian ingin membeli bunga dengan makna permintaan maaf itu bukan hanya untuk Mama, namun juga untuk Berlian Ardana, adik semata wayang yang selalu membanggakannya pada semua orang.
Karena nyatanya, bukan hanya Mama yang sudah amat ia kecewakan.
Namun juga Berlian Ardana.
Mirisnya, ia bahkan tak memiliki cukup uang untuk ongkos pulang, apalagi untuk membeli bunga yang lain.
Menguatkan diri, Damian kemudian menunduk. Perlahan meletakkan setangkai bunga tulip berbalut plastik bening tadi di atas tanah.
Dirinya terlalu pengecut untuk melewati gerbang tinggi di hadapannya.
Terlalu merasa takut untuk melangkahkan kaki lebih dalam.
Terlalu merasa kerdil untuk mengangkat kepala memberanikan diri.
Damian kemudian mengambil satu langkah mundur dengan mata merunduk menatap tulip tadi sebelum kemudian berbalik menjauh.
Entah bunga itu akan ditemukan atau tidak, Damian hanya berharap Mama dan Lian tahu betapa amat merasa bersalahnya ia sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring & Fall
RomanceWhy is it so easy to kill our happiness but so hard to kill our sadness?