Pukul 16.45 di hari Jum'at yang mendung ini, Dhaka duduk di sebuah bangku taman dengan buku sketsa serta sepasang pensil dan penghapus yang hampir habis sebagai pelengkapnya.
Mobilnya ia parkirkan tak jauh dari sana.
Pemuda bertubuh tinggi itu kemudian menatap sekeliling taman yang sore itu lumayan ramai, mencari sesuatu yang mungkin saja bisa ia jadikan obyek lukisnya kali ini.
Ada bocah berusia sekitar dua belas tahun dengan kaos biru yang tengah merapat pada tubuh temannya. Sama-sama fokus menatap ponsel dengan posisi tubuh dukuk di paving blok taman tanpa takut pakaian mereka akan kotor.
Pemandangan yang akan mengundang komentar Mama tiap kali melihatnya.
"Anak kecil kok udah dibiasain maen gadget sih? Padahal kan ga baik. Cucu Mama ga boleh kayak gitu."
Dan biasanya Dhaka diam saja meski lidahnya gatal sekali ingin menyahut;
"Cucu mane sih???"
Karena jika ia menyahut, balasan Mama akan berakhir dengan beliau yang menyuruh Dhaka -yang merupakan anak tunggal di keluarga mereka- untuk segera menemukan pasangan hidup. Membuat telinganya yang jadi gatal.
Jadi pilihan terbaik adalah mengunci mulutnya rapat-rapat saja.
Fokus Dhaka pada dua bocah itu teralih saat ada sepasang murid SMA yang tiba-tiba melintas di hadapannya.
"Mau jajan apa?" tanya si pemuda dengan potongan rambut rapi.
"Pop ice!" Gadis dengan rambut ekor kuda di sampingnya menyahut dengan nada ceria.
"Pop ice mulu sih? Pilek baru tau rasa!"
"Plis deh, Abang. Ada yang namanya obat pilek di dunia ini."
Dan puncak kepala gadis itu berakhir diacak gemas oleh lawan bicaranya.
Sepasang muda-mudi itu tak sadar ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Bahkan setelah keduanya berdiri berdampingan di stand penjual pop ice sambil sesekali bercanda.
Gavin Andhaka, tercenung menatap keduanya.
Lupa dengan obyek lukis yang dicarinya.
Lupa akan sketsa, pensil serta penghapus di pangkuannya.
Juga lupa akan segelas pop ice rasa taro di sampingnya.
Dirinya tiba-tiba ditarik ke satu waktu di masa lalu di mana dia tak hanya datang seorang diri ke taman ini, melainkan bersama seseorang.
Seseorang yang memiliki senyum teduh yang hebatnya selalu membuat jantung Dhaka terasa kalang-kabut.
"Lo tiap beli pop ice suka pilih yang rasa cokelat doang ya?" tanya Dhaka dengan seragam sekolahnya yang sudah kusut. Alis tebalnya menyatu.
Dia ingat, tiap kali memilih makanan atau minuman, gadis itu selalu memilih rasa yang sama; rasa cokelat.
Dia juga ingat sore itu langit agak mendung. Juga pedagang sosis bakar yang biasanya juga ada di sana, hari itu absen tak tahu karena alasan apa.
"Iya. Soalnya kalo rasa lain takut ga enak, ntar malah engga abis. Kan sayang. Lagian aku engga mau buang uang buat sesuatu yang belum tentu aku suka."
"Berarti lo ga pernah dong cobain rasa lain?"
"Engga."
"Sayang banget..." Dhaka menyeruput minumannya sendiri, "Kalo engga pernah berani coba hal-hal baru, lo ga akan tau dong hal lain di luar zona nyaman lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring & Fall
RomanceWhy is it so easy to kill our happiness but so hard to kill our sadness?