Sepasang kaki yang terbalut kets putih itu bergeser. Agak merapat pada penjual siomay yang dihampirinya. Membuat tubuh si pemilik yang sudah agak basah karena terkena hujan jadi terlindung oleh bagian atas gerobak yang dipasangi terpal kecil.
"Bapak!" sapa si pemilik sepatu kets tadi ceria.
"Eh, Neng Hana." Si bapak penjual yang sore itu mengenakan kaos oblong warna biru tua menyapa balik.
Pak Mul namanya.
Dia tersenyum hangat pada Hana yang selama ini memang sudah menjadi pelanggan tetapnya.
"Kayak biasa kan?" tebak Pak Mul sudah hapal di luar kepala bagaimana pesanan perempuan berambut sebahu itu. Membuat Hana mengangguk pelan dengan bibir tersenyum senang.
"Iya, Pak."
Dibungkus pake plastik bening, bukan styrofoam.
Tahu isinya aja, pake saos kacang tanpa kecap sama sambel.
"Pak Mul seminggu kemarin ke mana aja? Kok aku tungguin ga ada terus?" tanya Hana kemudian. Menyinggung soal gerobak siomay Pak Mul yang biasa nongkrong di seberang toko bunga miliknya selama seminggu kemarin sama sekali tak terlihat.
"Oh itu. Si ibu sakit, Neng..." jawab Pak Mul dengan tangan sibuk memotong tahu isi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, "Jadi saya temenin. Kasian sendirian di rumah. Yang ada saya jualannya ga tenang."
Ada yang menelusup perlahan ke dadanya saat Hana mendengar jawaban dari pria yang seumuran sang Papa di sampingnya ini. Hangat namun di waktu bersamaan juga terasa dingin.
"Oh ya? Si ibu sakit apa emang?"
Bukan sok akrab atau sok peduli. Hana memang lumayan kenal dengan wanita yang mereka bicarakan. Karena sesekali istri Pak Mul menemani sang suami jualan di sana.
"Biasalah, penyakit orang tua. Meriang," jawab Pak Mul sambil terkekeh. Membuat Hana mau tak mau jadi tersenyum juga.
Obrolan mereka berlanjut hingga akhirnya Hana menerima uluran pesanannya. Berakhir dengan ia yang pamit untuk kembali ke toko dengan senyum yang sama-sama lebar di bibir ke duanya.
Hana Danita memang selalu merasa senang tiap kali melakukan obrolan singkat yang tak memiliki makna seperti yang ia lakukan dengan Pak Mul barusan. Saat orang-orang kebanyakan sangat tak suka dengan yang namanya basa-basi.
Hujan kecil yang turun masih belum reda. Kembali membasahi tubuh Hana yang tak mengenakan payung, yang kini berdiri di pinggir jalan untuk menunggu jalanan agak lengang dari kendaraan hingga ia bisa menyeberang.
Dia diam. Namun kepalanya ramai.
Ramai karena jawaban sederhana nan terus terang dari Pak Mul saat dirinya bertanya tadi. Jawaban apa adanya yang justru memancing segala pikiran yang tak ingin ia ingat, malah kembali menyapanya.
Segala pikiran yang diawali dengan kata seandainya.
Seandainya dulu aku lebih sabar sama kamu, Yan.
Seandainya aku memberi sebanyak yang kamu kasih ke aku.
Seandainya dulu aku lebih tahu diri untuk ga menuntut apapun dari kamu saat kamu udah memberikan segalanya buat aku.
Dan seandainya...
Seandainya kamu mengerti sedikit aja.
Ah, sekarang dadanya juga menjadi sesak.
Rintikan hujan berhenti mengenai tubuh Hana saat sebuah payung abu-abu terulur di atas kepalanya. Membuat Hana jadi menoleh pada sosok tinggi yang membawa payung itu, yang tiba-tiba saja muncul di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring & Fall
Roman d'amourWhy is it so easy to kill our happiness but so hard to kill our sadness?