Sepasang tangan itu saling menggenggam.
Jemari panjang Alfa mengunci tangan Hana sejak mereka tiba di bandara tadi. Tak mau lepas karena sejujurnya dia masih merindukan kakak perempuannya itu. Berat rasanya untuk dia kembali ke London seorang diri.
Terlebih kenyataan bahwa kini saat dia pergi, juga berarti meninggalkan Hana tanpa siapapun di sini.
Di sampingnya, Hana memasang wajah tenang yang biasa. Menatap orang-orang yang berlalu lalang selama dia dan Alfa duduk di kursi bandara.
Alfa Ganendra tahu Hana benci berada di tengah keramaian namun sangat suka dengan keramaian itu sendiri. Perempuan yang empat tahun lebih tua darinya itu senang berada di garis luar keramaian dan mengamati orang-orang.
"Ga tau. Seneng aja..." Kata Hana waktu dulu Alfa bertanya apa alasannya, "Aku bisa liat hal-hal sederhana yang engga disadarin sama orang lain."
"Lo beneran ga mau ikut ke London lagi aja?"
Entah untuk ke berapa puluh kalinya selama dua minggu dia berada di tempat kelahirannya ini, Alfa menanyakan hal yang sama pada Hana. Berharap perempuan dengan senyum menawan itu akan berubah pikiran.
"Engga. London ngebosenin. Ga ada siomay di sana," jawab Hana masih sabar menjawab pertanyaan yang masih sama itu dengan nada becanda.
"Gue serius."
Namun rupanya Alfa sudah jengah dengan jawaban gurau Hana. Dia sungguh merasa khawatir meninggalkan kakaknya itu di sini seorang diri.
Hana menoleh demi mendapati sepasang mata Alfa yang keadaannya kini tak berbeda jauh dengan keadaan matanya sendiri; berkantung dan agak memerah.
Mereka mungkin tak pernah saling jujur bahwa duka itu masih menggelayut selama dua minggu berlalu. Tak pernah terang-terangan mengatakan bahwa semuanya terasa berat sekarang.
Karena jika mereka yang kini hanya memiliki satu sama lain untuk bersandar, sama-sama menunjukkan bagaimana lemahnya mereka, siapa yang akan jadi pihak yang menguatkan?
Jika keduanya jatuh, siapa yang akan mengulurkan tangan untuk menarik yang satunya bangun?
Maka dari itu tanpa sadar keduanya menjadikan diri sebagai pihak yang kuat, mengambil peran untuk jadi tempat bersandar. Menyembunyikan luka sendiri agar bisa menopang dia yang disayang.
"Lo sendirian di sini."
Suara Alfa berubah lirih. Agak bergetar. Ketakutan yang sama dengan beberapa tahun lalu kembali muncul saat ia dihadapkan dengan kenyataan yang ada sekarang, bahwa Hana akan sendirian.
"Gue takut lo bakal...." Alfa menelan ludahnya dengan susah payah. Tak mampu melanjutkan kalimatnya. Karena mengingat apa yang terjadi dulu saja rasanya sudah amat menakutkan hingga rasanya dia ingin menangis seperti saat dia dalam pelukan Lian waktu itu.
"Aku udah baik-baik aja kok." Hana menepuk pelan punggung tangan Alfa yang masih menggenggam jemarinya. Tahu jelas apa lanjutan kalimat adik lelakinya yang tak bisa selesai diucapkan itu.
Sejujurnya selalu merasa bersalah dengan tindakan bodoh yang dilakukannya dulu.
Hana Danita jelas paham dengan ketakutan yang Alfa Ganendra rasakan sekarang.
Tak ada lagi Papa yang akan menemaninya jika Alfa pergi.
Juga tak ada sosok suami yang bisa pemuda itu percaya lagi untuk menjaganya seperti dulu.
Dan Alfa Ganendra jelas takut jika Hana akan mengulang kebodohan yang sama jika ia dibiarkan sendiri.
Dua minggu lalu, Hana meneleponnya untuk pulang. Mengabarkan bahwa Papa tengah sakit keras. Membuat Alfa tanpa menunggu apapun lagi langsung mengemasi barang-barangnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/182580376-288-k680652.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring & Fall
RomanceWhy is it so easy to kill our happiness but so hard to kill our sadness?