Intermezzo 02

50 7 15
                                    

Tiga murid berseragam putih-abu itu duduk membentuk setengah lingkaran dengan kaki terlipat.

Mereka memilih ujung koridor di lantai dua  sebagai tempat untuk menyantap bekal di jam istirahat siang ini. Karena gedung baru yang dulu mereka klaim secara pribadi sebagai markas, beberapa hari lalu akhirnya digunakan sebagaimana mestinya hingga mereka tak bisa lagi datang ke sana sesuka hati.

"Makan di kelas gue aja lah. Males gue ke luar lagi. Panas," keluh Alfa tadi, si penyuplai utama bekal makanan yang selama ini mereka lahap tiap siangnya.

"Lo bisa makan di tempat angker kayak gitu?" Lian menyinggung keadaan kelas Alfa yang menurutnya sangat horror karena berisi manusia-manusia serius. Yang tiap kali ia datangi seperti ia masuk ke dunia lain. Mengerikan.

"Jangankan buat nelen, buat napas aja nih, kalo bernapas itu engga otomatis, ga bisa gua mah napas. Beneran dah, Al," lanjut Lian lebay seperti biasa.

Dan jika biasanya Dhaka akan mencibir kalimat-kalimat hiperbola gadis bertubuh mungil itu, kali ini dia justru mengangguk setuju.

Tentu bukan tanpa alasan kenapa sepasang sahabat yang selalu Alfa Ganendra curigai sebagai alien tersebut tiba-tiba seolah menciut menjadi kecambah saat datang ke kelas yang satu itu.

Alfa Ganendra menjadi salah satu penghuni kelas A di mana kelas itu menjadi perkumpulan murid-murid cerdas.

Namun sayangnya bukan hanya cerdas, tapi beberapa di antaranya sangat berambisi pada nilai yang sempurna. Orang-orangnya sangat serius, di jam istirahat saja kepala mereka masih menunduk di atas buku hingga Lian menjuluki mereka sebagai makhluk malang yang tak bisa menikmati hidup. Suasana di sana terlalu horror untuk seorang Berlian Ardana dan Gavin Andhaka yang selalu secerah matahari di musim panas.

Lian ingat betul saat kali pertamanya dia dan Dhaka berkunjung ke sana. Sikap mereka yang berisik dan bertengkar tak penting tanpa kenal tempat langsung memicu tatapan tajam dari orang-orang cerdas itu yang merasa terganggu oleh keduanya.

Dan sebodoh-bodohnya pasangan sahabat itu, mereka cukup peka untuk undur diri karena tahu bahwa tatapan yang mereka dapat adalah tanda pengusiran.

Lebih tahu diri lagi saat ada yang terang-terangan menegur mereka.

"Songong banget, anjxr! Awas aja kalo ntar mereka yang dateng ke kandang gua. Gua getok tuh pala pake kemoceng biar jadi bego," kata Lian dengan tatapan penuh dendam terarah pada koridor depan kelas Alfa.

"Gakan mah mereka dateng ke kelas lu. Ga lepel," ledek Dhaka yang bisa bersikap lebih santai.

"Kita sekelas ya, nyet???"

"Oh iya. Lupa."

"Hhhh... Idiot." Lian menggeleng kepala lelah.

"Lagian kenapa deh ga lu lawan? Biasanya juga lu barbar ape lo-ape lo gitu sambil melotot?"

Gavin Andhaka tahu betul bagaimana seorang Berlian Ardana yang akan langsung membusungkan dada dan pantang mundur jika ada yang menyulut api.

"Kamu ngomongin siapa sih? Aku anggun begini, mana ada barbar?" Lian menyelipkan rambut dengan kedua tangannya ke balik telinga berserta bibir menipis sok cantik.

"Ngomongin ELUUUU." Dhaka menoyor  kepala Lian hingga gadis itu terhuyung pelan. Gemas betul dia tiap kali Lian bertingkah sok manis begitu.

"Lagian kalo gue lawan, lo sama si Ganendra bisa apa kalo gue kenapa-napa? Pasti kabur," cibir Lian penuh hinaan.

"Dih pitnah!" Dhaka tak terima, "Gua mah setia kawan. Ga bakal gue kabur, bakal di sana sampe beres."

"Buat rekamin gue gelut."

Spring & FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang