Intermezzo 01

58 7 4
                                        

"KAAAAAA HUHUHUUU...."

Tubuh besar Dhaka bergoyang ke kanan dan kiri karena Lian mengguncangnya. Sungguh mengganggu. Membuat niatnya untuk melahap mie ayam yang sudah menggantung cantik di depan mulut, batal sudah.

"Bantuin dong. Sahabat macam apa sih lo ga mau bantuin gua padahal perkara gini doang???"

Setelah beberapa menit lalu merengek pura-pura menangis -yang jelas tanpa air mata- Lian akhirnya mengamuk juga. Wajah dengan pipi tembamnya itu merengut sebal.

"Bukan ga mau bantuin, Nyet. Gue kan bilang ga bisa karena jam segitu gue ada latihan basket. Budek ya lo?"

Gavin Andhaka berusaha keras menyabarkan diri.

Kantin kampus siang ini tengah ramai, belum lagi cuaca yang sedang panas-panasnya. Ditambah rengekan Berlian Ardana yang nyaring -yang membuat orang ingin melepas kuping mereka saja daripada mendengar rengekan itu- rasanya Dhaka ingin memukul kepala Lian dengan botol kecap seandainya dia tak tahu bahwa gadis itu lebih galak darinya atau siapapun yang pernah dia kenal.

"Pelatih lo ga galak. Lah gue? Dosen gue galak banget anjir, ga bisa nego kalo ada yang bikin salah sama dia."

"Galakin balik. Lo kan lebih galak." Dhaka berujar tanpa beban sebelum kemudian membuka mulut. Akhirnya bisa menyuap mie ayam yang sempat ia anggurkan.

"Ih si bego..." Raut merengut Lian kini dihiasi tatapan menghujat untuk sahabat di sampingnya itu. Namun jelas hanya sekian detik karena di detik selanjutnya, gadis itu kembali merengek, "Ayo dong huhu...."

Dhaka menghela napas. Lian jelas tak akan menyerah sampai dia mengiyakan permintaan yang sejujurnya amat sepele itu.

"Nunggu PO dua aja lah."

"Ga ada PO dua, penerbitnya udah konfirmasi huhu...."

"Ya udah nunggu rilis di toko buku aja, ribet amat? Lagian ngapain sih rusuh ikut PA PO gitu kalo ntar lo bisa beli dengan tenang di toko buku?"

"Ih lo mah ga tau sih gimana sensasinya ikutan PO apalagi pas beneran dapet dan ngalahin ratusan orang lainnya," kata Lian mulai drama.

Mulai deh. Dhaka mendengus tanpa suara.

Nyatanya, Berlian Ardana sudah sejak hari kemarin merengek seperti ini padanya. Memohon agar Dhaka membantunya untuk perang pre-order novel dari penulis yang amat gadis itu favoritkan.

Karena menurut pengalaman dari pre-order novel-novel sebelumnya, novel penulis satu ini bisa langsung ludes hanya dalam waktu tiga menit.

Parah memang.

Dan setelah selama seminggu belakangan para pembaca diberi teaser bonus apa saja yang akan diberikan bagi mereka yang berhasil memesan saat PO berlangsung, akhirnya dikonfirmasi kapan PO itu dibuka.

Jam 3 sore ini.

Bersamaan dengan jadwal Lian harus mengikuti kuis yang dosennya tidak bisa dibodohi dengan titip absen atau dengan muslihat lainnya ala mahasiswa.

Nekat diam-diam bermain ponsel di kelas dosen itu?

Jauh lebih cari mati.

Dosen satu itu diyakini para mahasiswa memiliki sepasang mata di belakang kepalanya. Sungguh menyeramkan.

"Mungkin buat lo ini ga penting, tapi buat gue penting. Dapet PO ini bikin gue bahagia..." kata Lian melanjutkan dramanya dengan muka sok sedih, "Dan gue mempercayakan masalah ini sama lo, bestfriend gue. Yang gue aja sebenernya ga terlalu yakin lo bakal berhasil mengingat kesialan lo selama ini lebih banyak dibanding keberuntungan yang lo dapet. Itu tandanya apa? Gue percaya sama lo. Gue mengandalkan elo. Elo orang yang bisa diandalkan."

Spring & FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang