Sepuluh Sepuluh

189 20 13
                                    

Aryan Adhiyastha menghela nafas panjang saat punggung miliknya menyentuh sandaran kursi mobil. Merasa lelah dan lega karena akhirnya hari ini berakhir juga. Dia bisa beristirahat sebelum besok berkutat dengan pekerjaan yang hampir sama; rapat berjam-jam, tandang tangan puluhan berkas dan bertemu beberapa klien.

Menatap lampu-lampu kota dengan tubuh bersandar lemas, dia sesekali mendapati berbagai macam orang dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang baru memulai hari di waktu hampir tengah malam ini, ada juga yang mengakhirinya dengan hendak pulang ke rumah, seperti yang Aryan lakukan sekarang.

Pulang.

Entah sejak kapan Aryan mulai merasa aneh sendiri dengan satu kata yang difavoritkan banyak orang itu. Entah sejak kapan dia tak merasa antusias untuk pulang dan  meninggalkan setumpuk pekerjaan di kantor tempatnya menghabiskan hampir seluruh waktu seharian penuh.

Atau dia tahu, hanya saja tak ingin mengingatnya?

Karena sejujurnya rumah dan Mama yang menyambutnya pulang memang hal yang menyenangkan seperti saat dirinya masih duduk di Sekolah Dasar dulu.

Tapi dia juga tak bisa berbohong pada dirinya sendiri bahwa dari lubuk hatinya, dia mengharapkan orang lain yang akan memeluknya di penghujung hari setelah menyelesaikan setumpuk pekerjaan yang membuatnya lelah.

Aryan menggeleng. Mengenyahkan segala harapan tak terwujud yang membuatnya sesak itu.

Dia kemudian menengok arloji di tangan kirinya. Namun jadi diam sendiri saat melihat ke angka mana dua jarum dengan ukuran berbeda itu mengarah.

10:10.

Untuk manusia-manusia malam mungkin itu terbilang masih sore. Bagi mereka malam masih jauh sebelum jarum jam berada di angka dua belas. Tapi jelas bukan itu masalahnya. Bukan itu yang berhasil membuat Aryan tertegun sedemikian rupa seperti sekarang.

Ada satu potongan kecil memorinya yang tanpa ijin tiba-tiba merangsek masuk hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Memaksanya mengingat kenangan sederhana yang harusnya mudah ia lupakan.

Oke, mungkin ia lupa kapan tepatnya kejadian itu berlangsung. Dia tak ingat tanggal dan tahunnya.

Tapi serius dia masih ingat jelas baju apa yang dikenakan perempuan yang duduk di sampingnya. Warna baju, sandal, ikat rambut, bahkan buku yang tengah dibacanya. Aryan mengingat tiap detailnya dengan sangat jelas. Bahkan ekspresi perempuan itu saat Aryan menepuk pundaknya pelan beberapa kali namun jelas bersemangat.

“Apa sih, Yan?” katanya waktu itu.

Aryan bahkan masih ingat suara itu meski sudah lama sekali sejak terakhir kali dia mendengarnya secara langsung.

“Jam 10:10, Na. Katanya kalo kita berdo’a di jam itu, do’a kita bakal terkabul,” kata Aryan tersenyum lebar penuh antusias. Matanya berkilat seperti bocah yang dijanjikan mainan baru oleh ibunya.

Namun sedetik kemudian keningnya berkerut. “Eh 10:10 apa 11:11 ya?” Dia tiba-tiba merasa ragu sendiri.

“Kamu percaya gituan?”

“Hah?” Aryan mengerjap. Dirinya diingatkan bahwa perempuan di sampingnya sekarang adalah orang yang tidak akan pernah percaya dengan hal-hal semacam itu. Mendadak jadi malu sendiri.

“Engga, ngasih tau aja,” katanya cepat, takut perempuan itu salah paham.

Bohong, karena hingga beberapa detik lalu Aryan memang percaya pada mitos satu itu.

Ada yang mengalir hangat di dadanya saat mendengar tawa kecil di sampingnya.

“Aku tuh ga pernah ngerti sama mereka yang percaya hal-hal semacam itu. Mereka bisa berdo’a kapan aja karena Tuhan engga nunggu waktu tertentu buat hamba-Nya berdo’a. Dan do’a-do’a itu punya kemungkinan besar untuk dikabulkan. Kenapa harus percaya sama mitos kayak gitu?”

“Iseng kali.” Aryan memberikan jawaban asal.

“Kepercayaan sama Tuhan mereka jadiin keisengan?”

Aryan mengernyit mendengar pertanyaan yang dilontarkan sebagai tanggapan jawaban asalnya barusan.

“Percaya kalo berdo’a di jam tertentu do’a kita bakal terkabul, itu berarti mereka ga percaya bahwa do’a-do’a di waktu lain akan terkabul juga. Padahal Tuhan bisa mengabulkan do’a yang kita panjatkan kapan pun itu.”

Aryan menipiskan bibir. Ini kenapa obrolan mereka jadi serius seperti ini? Padahal awalnya hanya membahas mitos soal 10:10.

Tapi dibanding membalas dan membuat topik sensitif ini menjadi lebih panjang, dia hanya memberikan tatapan tak terbaca. Sejujurnya merasa takjub dengan cara pikir wanitanya itu.

Hingga perempuan itu segera mengatupkan bibir merasa tak enak hati karena takut menyinggung.

"Aku salah ya?" tanyanya hati-hati.

Aryan tersenyum. "Kalau salah yang kamu maksud itu berarti bikin aku makin kagum sama kamu, aku rasa engga. Kamu engga salah sama sekali."

Aryan masih ingat jelas bahwa setelah dia mengatakan kalimat bodoh itu, dia mendengar tawa yang paling difavoritkannya.

Tawa yang sekarang secara ajaib berdengung di telinganya, mengalahkan suara-suara lain di sekitar.

Tawa yang membuatnya merapatkan bibir karena sesak di dada serta rindu yang meluap akan sosok menawan itu. Rindu yang tiap saat kadarnya makin bertambah.

Sejujurnya dia benci untuk jadi sesentimental ini. Menjadi si gila kerja hingga ditegur sang ibu setiap hari, nyatanya Aryan masih bisa mengingat sosok itu di waktu-waktu senggang seperti sekarang hanya karena hal kecil.

Perempuan itu seolah tak bisa membiarkan otak Aryan istirahat barang sekejap.

Kenapa sih, Na? Kenapa kamu sejahat ini sama aku?


***

Aryan jelas lupa bahwa bukan hanya perempuan itu yang bersikap jahat padanya. Takdir sudah lebih dulu menjatuhkannya hingga jurang terdalam. Menciptakan sosok Aryan yang sekarang sejak empat tahun lalu.

Dan sekarang mereka berdua kembali mempermainkannya.

Takdir yang sengaja mempertemukan mereka setelah sekian tahun dalam situasi yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Dan perempuan itu yang bersikap seolah tak ada yang terjadi di antara mereka berdua.

“Hai, Yan. Apa kabar?”

Aryan meneguk ludah. Merasa bimbang untuk menjawab.

Karena nyatanya sejak empat tahun lalu, Aryan Adhiyastha sudah menjadi seorang pembohong. Pada orang lain, juga pada dirinya sendiri.

Dia selalu meyakinkan orang-orang juga dirinya bahwa dia baik-baik saja. Bahwa luka itu sudah sembuh. Bahwa dia sudah bangkit dari kehancuran yang ia alami.

Tapi karena perempuan di depannya ini...
Aryan ingin menjadi jujur.

Meski hanya pada dirinya sendiri.

Meski hanya dalam hati.

Bahwa....

Ga baik, Na. Sejak empat tahun lalu kamu ninggalin aku... Aku ga pernah baik-baik aja.

Spring & FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang