Lian pernah membaca sebuah kalimat yang ia lupa temukan di mana namun masih dia ingat sampai sekarang.
They say that time flies. But you keep breakin' its wings.
Dulu, saat pertama kali membacanya Lian hanya tahu bahwa kutipan itu bisa ia jadikan status di facebook atau tulisan di foto polaroid yang ia koleksi, tanpa mengerti betul makna apa yang ada di baliknya.
Tapi Damian membuat dia akhirnya paham dan berpikir bahwa...
Ah, mungkin ini maksudnya.
Mungkin seperti ini rasanya saat sayap waktumu tak bisa lagi mengepak.
Waktu yang ia miliki rasanya berbeda jauh dengan waktu yang orang lain miliki meski mereka berada di masa yang sama.
Waktu yang ia miliki tak lagi berlalu cepat tanpa terasa.
Waktunya terasa membeku di detik yang membuatnya amat takut tiap kali membuka mata di pagi hari karena pahitnya kenyataan yang harus ia hadapi.
Waktunya terasa membeku di detik yang membuatnya merasa ditinggal sendiri.
"Kamu pindah aja. Tinggal sama Papa."
Ah, Papa yang pertama.
Sebelum Damian, Papa-lah yang pertama mematahkan sayap waktu milik Lian.
Dulu, yang rasanya selalu seperti baru kemarin.
"Nanti Papa bantu ngomong sama Mama-mu kalo kamu ga berani minta ijin."
"Bukan ga berani. Tapi emang ga mau..."
"Papa pergi. Abang pergi. Kalo aku juga pergi, nanti Mama sama siapa?"
Kepala Lian masih bisa memutar jelas obrolannya dengan Papa beberapa saat lalu. Dan bagaimana pria yang dulu paling bisa membuatnya senang itu akhirnya hanya bisa merapatkan bibir di akhir pembicaraan mereka.
Kadang setelah pertemuan mereka yang menurutnya kini terasa tak menyenangkan, Lian selalu merasa bersalah.
Karena lebih mementingkan Mama, dibanding Papa.
Tapi bukan rahasia lagi, memang. Bahwa bagi Berlian Ardana, Mama adalah segalanya.
Sekalipun selama ini yang Lian terima dari Mama hanya sakitnya jadi korban pilih kasih, dia tetap menyayangi Mama dengan kadar yang tak pernah berkurang sama sekali.
Menatap sepasang sepatu warna kuning yang ia kenakan, Berlian Ardana menghela napas berat.
Kepalanya ramai dengan apa yang terjadi dengan keluarganya sekarang.
Tentang Papa yang tidak mungkin kembali.
Tentang Damian yang kini juga pergi.
Tentang Mama yang entah kapan akan sembuh dari segala sakit hati.
Ramai itu kemudian merambat turun, membuat dadanya sakit.
Dia baru berniat merogoh ponsel di dalam tas selempang kecilnya ketika merasakan sesuatu menyentuh punggungnya.
Segalanya terjadi begitu cepat ketika sesuatu yang ia yakini adalah sepasang tangan itu tiba-tiba mendorongnya cukup kuat. Membuatnya yang sejak tadi duduk di ayunan kompleks rumah langsung melambung ke atas.
"HWAAAAHHHHH!!!"
Teriakan nyaring Berlian Ardana memecah hening di jam tujuh malam itu. Kedua tangannya refleks memegang tali ayunan begitu erat dengan jantung yang rasanya sudah terlontar ke atas lebih dulu dibanding tubuh kecilnya.
Dia jelas sangat terkejut.
Dia masih bisa merasakan sepasang tangan tadi belum meninggalkan punggungnya. Namun niatnya untuk menoleh ke belakang langsung terkubur ketika tubuhnya mengayunkan mundur sebelum melambung ke depan dengan tempo yang lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring & Fall
RomanceWhy is it so easy to kill our happiness but so hard to kill our sadness?