Senyum Manis di Sudut Lapangan

87 14 1
                                    

Love at first sight.

Well... Topik yang agak menggelikan memang. Tapi lucunya sedikit-banyak orang yang percaya dan mengalaminya langsung.

Namun, berbeda dengan Lian yang percaya dengan fenomena satu itu karena terlalu banyak menonton drama ataupun novel picisan, Dhaka justru jadi orang yang tidak pernah mempercayai apalagi mengalaminya.

"Terlalu buru-buru rasanya kalo lo langsung bilang lo jatuh cinta padahal lo baru pertama kali liat dia. Jatuh cinta itu butuh proses. Lo ga bisa tiba-tiba sayang sama seseorang tanpa tau gimana dia, tanpa terbiasa dulu sama dia. Karena jatuh cinta kan tandanya lo udah sayang sama dia. Dan sayang ada karena lo tau gimana dia, terbiasa sama dia."

Itu alasan yang Dhaka jabarkan saat Lian bertanya.

Lian langsung memicingkan mata. "Ini kok gue curiga ya lo suka diem-diem baca koleksi novel romantis gue yang suka lo hina-hina itu?"

"Ya kagak lah!" sergah Dhaka tak terima. Karena meskipun dia sering masuk ke kamar Lian meski si pemiliknya tengah tak ada di sana, tapi tak pernah sekalipun dia menyentuh novel-novel koleksi sahabatnya itu.

"Pake logika aja. Ga mungkin sayang bisa muncul secepat itu."

Lian menghela nafas sebelum membenarkan posisinya di kursi balkon kamarnya malam itu.

"Ka..." panggilnya dengan nada seolah siap menggurui, "Sayang itu ga perlu pake logika. Ga perlu jadi realistis. Ga perlu rasional. Kalo hati lo tiba-tiba jatuh buat seseorang, semua itu ga perlu. Lo bakal sayang gitu aja. Ga peduli sesingkat apapun waktu lo mengenal dia," katanya malah terdengar sekali bahwa dirinya bersikap sok tahu.

Dhaka menatap Lian dengan muka datar. Menebak dari novel mana gadis bertubuh mungil itu mengutip kalimat. Sebelum tangan besarnya mengusap kasar wajah Lian.

"Sok pengalaman luh! Pacaran aja kagak pernah."

"Ya emang lo pernah???" Lian mengamuk. Tangannya yang tadi ingin mencakar tangan Dhaka, malah berakhir jadi mencakar udara kosong.

"Ya karena ga pernah makanya gue ga percaya!" sergah Dhaka membuat Lian menipiskan bibir.

"Makanya lo berhenti deh baca novel-novel romantis gitu..." lanjutnya jadi mengomel, "Gue ngerti sih itu sebagai distraksi dari kisah asmara lo yang ga ada manis-manisnya. Tapi itu tuh racun yang bikin lo ngarep bakal punya kisah kayak di buku. Tolong realistis. Hidup lo tuh di dunia nyata, bukan di lembaran fiktif. Lo gak akan...."

BRUK!

"ANJ...."

"KALO GUE HIDUP DI LEMBARAN FIKTIF EMANG KENAPA HA??? EMANG KENAPA???"

"EH LI, WOY ADUH!"

"DIE DIE DIE!"

Malam itu berakhir dengan Lian yang menginjak-injak tubuh Dhaka yang jatuh dari kursi dan terbaring di lantai karena tendangan kaki pendeknya.

***

Percakapan itu mungkin tak berkesan. Mungkin sama saja seperti obrolan Dhaka dan Lian yang seperti biasa, yang dibumbui pertengkaran mereka seperti sebelum-sebelumnya.

Namun Dhaka tumbuh dengan pandangan yang tak berubah soal topik mereka malam itu.

Karena kenyataannya, sekalipun dia dianggap orang yang menyebalkan dan terbilang santai menjalani hidup, dia memiliki pola pola pikir yang Lian bilang rumit.

Dhaka cenderung akan menjalin hubungan dengan mereka yang minimal sudah ia kenal selama satu tahun. Juga terbilang sulit untuk menyukai seorang gadis -dalam artian lebih- meski ada saja dari mereka yang dekat dengannya dan membuatnya nyaman.

Spring & FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang