3. Budaya Kerja & Senioritas

1.6K 196 15
                                    

Pukul 7

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul 7.20, inilah saatnya jalanan dilanda macet akibat arus lalu lintas yang padat. Sebenarnya Jakarta sudah tidak masuk ke dalam 10 besar daftar kota yang kemacetannya parah seperti yang diberitakan di TV, tapi buatku mendapati macet di lampu merah seperti ini saja sudah membuat otak meradang, apalagi jika angka jarum jam sudah mendekati tiga puluh.

Otomatis saat sampai kantor akan telat karena harus mengantar makhluk di sebelahku ini dulu ke kantornya. Kak Mark telat bangun, lantaran semalam dia pulang jam tiga pagi dalam keadaan mabuk, terpaksa aku harus dengan lapang dada menunggu sambil mendapatkan bonus, yaitu mendengarkan nyanyian nyonya Haechan Syafiradinata Mananta yang kalau didengar dengan seksama mirip rapper sekelas Lisa Blackmamba.

"Ini salah kakak! Coba kakak nggak telat bangunnya," gerutuku sambil membelokkan stir ke samping kanan untuk mencari celah jalan kosong.

"Iya maaf dek, nggak lagi-lagi deh. Kamu tau kan kalau hidup di kantor itu perlu loyalitas," bantahnya.

Loyalitas, oke, mungkin bekerja lembur sembari menemani atasan sambil mabuk itu adalah budaya kerja di kantor kak Mark, setiap kantor memang punya budaya kerja masing-masing, karena di kantorku tidak seperti itu.

Tapi haruskah loyalitas itu sampai harus mengganggu kehidupan si karyawan di rumah? Kak Mark punya kewajiban untuk menjaga istri dan anaknya juga. Walau kak Mark masih pekerja yang terbilang baru, tapi setidaknya harus ada toleransi tentang jam kerja.

Haechan yang belum bisa bergerak banyak pun harus sendirian mengurus Niel dan Leo di rumah.
Saat aku mau membantunya mengurus Niel pun Haechan menolak. Dia malah menyuruhku tidur karena yang seharusnya menjaga dan menemaninya bukanlah aku, melainkan suaminya.

Bukan karena dia malu sudah menumpang di rumahku, tapi dia berpikir kalau itu semua adalah tanggung jawab kak Mark. Sifatnya di bagian itu memang patut kucontoh, dia tegas dan galak.
Wanita itu memang menjadikan galak sebagai pertahanan diri, agar bisa tetap bertahan di posisi pertama dalam susunan rantai keluarga, bukan rantai makanan yang pasti.

Dari keadaan itu aku pun memikirkan sesuatu yang mungkin kelihatannya sepele. Jika suatu saat aku memiliki suami dan dia pulang malam dan lebih parahnya dalam keadaan mabuk, apakah aku akan bersabar seperti Haechan?

Yah, walaupun pagi harinya Haechan akan melantunkan banyak petuah jahat dari mulutnya, seperti, akan menendang kak Mark kalau sampai hal seperti kemarin terulang lagi, menyuruh kak Mark tidur di bak mandi berisi air es; sampai tak memberinya jatah berhubungan intim hingga sebulan ke depan. Namun tetap saja itu tidak akan banyak mengubah keadaan. Hanya melampiaskan rasa kesal saja, karena nanti akan terulang lagi.

Bukankah itu ekstrim? Apakah aku juga akan berbuat seperti itu saat mengalaminya? Atau mungkin lebih parah dari itu?

Lamunanku segera buyar saat kak Mark menepuk pundakku.

🔞IRIDESCENT (Jeno-Nana GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang