6. Point Of View

1.2K 165 3
                                    

Kami masih di perjalanan, dan selama itu juga tak ada percakapan apapun yang terjadi di antara kami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami masih di perjalanan, dan selama itu juga tak ada percakapan apapun yang terjadi di antara kami. Hanya ada suara alunan musik yang disetelnya lewat mp4. Bagusnya lagu Adam Olete mengalun, membuat suasana tak terlalu hening.

Sekilas kulihat dari ekor mataku, dia sedang bergumam bernyanyi tanpa suara, maksudnya berkomat kamit merapalkan lirik lagu tersebut dengan santainya.

Sepertinya dia tak sekaku yang kubayangkan, buktinya dia mau bernyanyi meski tanpa suara. Setidaknya dia punya daya respon terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Dan yang lebih mengejutkan lagi selera musiknya kemungkinan sama denganku, yaitu musik-musik balada dan Jazz. Karena sejak tadi aku tak mendengar ada lagu dengan dentuman beat yang memekan telinga seperti selera anak belasan tahun.

Aku pun mulai ikut menikmati musik, kalau tidak salah lagu-lagu ini cukup lawas. Yah, bisa dilihat lah dari usia pak Jeno yang sudah tidak muda lagi.

"Kamu suka Jazz juga?"
Tiba-tiba suara bass itu mengembalikanku ke dunia nyata, setelah terbuai dengan lagu Adam Olete barusan.

"Ya begitulah," jawabku santai sambil mengayun-ayunkan kepalaku karena alunan lagunya masih memanjakan telingaku.

"Selain Jazz ada lagi?"

"Mmm...mungkin musik klasik,"
Kataku agak ragu, karena dibilang sangat suka pun tidak terlalu berlebihan. Memang aku tak terlalu sering mendengarkan musik, kecuali mungkin alunan pianonya Bethoven, Mozart atau saksofonenya Kenny G.
Yah anggap saja aku memang ketinggalan zaman sekali kalau soal musik.

"Contohnya?"
Lagi tanyanya. Aku tahu ini mungkin hanya agar tak terlalu sepi saja dan bukan karena dia tertarik dengan seleraku. Buktinya ekspresinya datar datar saja.

"Mmm...Kenny G, Beethoven, Mozart yah pokoknya yang sekelas mereka,"
Jelasku simpel.

"Kalau kamu bicara kelas berarti seleramu tinggi ya?"

Aku tidak tahu apa ini pujian atau malah sindiran, tapi aku setuju saja dengan penilaiannya.

"Mungkin. Karena orang-orang bilang seni musik klasik itu bernilai tinggi, tapi saya juga nggak pernah tahu letak tingginya dimana," kataku dilengkapi dengan sedikit kekehan.
Kulihat juga dia sedikit menaikan sudut bibirnya.

Iya... hanya sedikit lho.

"Yah, nggak banyak kok orang yang tau alesan kenapa mereka bisa suka terhadap musik tertentu dan nilai-nilai dalam musik tersebut. Karena mereka hanya mengandalkan pendengaran. Tapi kalau menurut saya kenapa klasik disebut musik cita rasa tinggi itu karena dari tingkat kesulitan lagunya. Cenderung mereka memakai alat musik yang sifatnya nggak praktis,"
Jelasnya cukup panjang.

Ternyata dia cukup objektif dalam menilai sesuatu, yah persis seperti penampilannya sih.

"Iya mungkin begitu, saya juga mikirnya begitu sih. Kalau saya seringnya mendengarkan musik klasik itu di saat mau tidur, biar cepet tidur aja gitu," ucapku yang tanpa kuduga malah membuat dia tertawa kecil.

🔞IRIDESCENT (Jeno-Nana GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang